"Tidak mau. Aku sudah kekenyangan. Bisa muntah aku," ujar temanku itu sambil menunjuk-nunjuk mulutnya.
Gagal membujuk Wahid, aku beralih ke Aram, temanku yang lain yang dikenal sebagai biang kenakalan dan tukang buat onar di seluruh sekolah.
"Bolos Az? Bolos kamu bilang? Jangan sembarangan kamu Az. Ekonomi ini pelajaran yang paling penting. Nanti kalau aku sudah berkeluarga bersama Bu Indah, eh maksudku, kalau nanti aku sudah menikah dan berkeluarga, ekonomi ini adalah ilmu pertama yang terpakai. Ini ilmu untuk seumur hidup, Az. Betapa pentingnya pelajaran ekonomi. Tak mau aku membolos, Az."
Seharusnya aku tidak bertanya pada temanku yang satu itu. Bahkan seharusnya namanya tidak usah kuceritakan. Bikin malu saja.Â
Derap langkah Bu Indah sudah mulai terdengar di ujung lorong, itu artinya waktu untuk kabur bolos semakin sempit. Jadilah aku, di detik terakhir, terpikir untuk mengajak Nasri. Meski agak gila, sebab Nasri jarang sekali bolos jam pelajaran.
"Nas, mau ikut ke kantin?"
Dia langsung menggeleng. Habis sudah harapan.
"Baiklah. Kalau tidak ada yang mau, ya sudah, aku ke perpustakaan saja deh."
"Tunggu, apa? Perpustakaan? Aku ikut." Nasri tiba-tiba berdiri. Aku menatapnya tidak percaya. "Ya, aku mau berganti suasana. Di sini terlalu membosankan. Ayo."
"Hei, hei, kalian berdua mau kemana?" tegur seorang gadis mungil yang duduk di deretan bangku paling depan. Kenalkan dia kawan, namanya Lia. Dahlia Anggraini. Dia adalah sahabatku.
"Ke perpustakaan," sahutku singkat.