Mohon tunggu...
Azfa Muzayyin XII_MIPA_2
Azfa Muzayyin XII_MIPA_2 Mohon Tunggu... Lainnya - Sedang mencoba menjadi artist yang professional walaupun gambarannya aneh-aneh

Nama Saya Adalah Azfa Muzayyin Ramdhan. Bersekolah di SMAN 1 Padalarang berumur 18 tahun, sedang menyukai bidang seni yaitu seni menggambar. Ntah apakah tulisan saya menarik itu pilihan anda, yang pastinya saya menulis karena 2 hal, 1 yaitu hal pertama adalah karena tugas yang diberikan (Novel Sejarah) harus di upload dalam situs ini maka saya membuat akunnya. hal kedua mungkin akun ini ntah akan terus berlanjut saya gunakan atau tidak.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kursi Roda Hana

1 Maret 2022   20:10 Diperbarui: 1 Maret 2022   20:25 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin berhembus dari jendela kelas dengan sejuk. Hari itu aku sedang melamun sembari mendengarkan musik yang ku suka. Kebetulan saat itu juga jam pelajaran kedua, guru matematika tidak bisa hadir dalam kelas alhasil pada hari itu menjadi jam kosong. Tentu hal itu sebuah kesenangan tersendiri, siapa yang tidak suka jam kosong dikelas? Orang yang tidak suka akan hal itu, dia pasti tidak suka bersyukur terhadap apa yang diberi.

Diriku dikelas memang kurang akrab dengan teman-teman kelas. Bukannya aku tidak mau berbaur tapi hanya saja aku tidak mengerti dengan topik yang biasa mereka bicarakan.

Kemudian diselang-selang jam tersebut, tiba-tiba saja masuk Bu Ani yang saat itu wali kelas. Seisi kelas yang tadinya ribut, langsung diam kondusif untuk mendengar apa yang akan disampaikan Bu Ani.

“Baiklah anak-anak, kebetulan pelajaran Pak Budi kosong, ibu pinjam dulu waktunya ya... ini ada pengumuman” Ucap Bu Ani.
“Pengumuman apa bu?” tanya salah seorang anak dikelas. “Dikelas ini ada kedatangan murid baru. Sebentar, ibu panggil dulu anaknya” jawab Bu Ani. Seisi kelas kembali ribut membicarakan siapa murid baru tersebut. Bu Ani kembali ke kelas sembari membawa kursi roda dengan seorang murid perempuan. Semua murid terheran-heran kenapa murid tersebut menaiki kursi roda

“Silahkan perkenalkan diri dulu” Ucap Bu Ani kepada murid tersebut.

                Dengan gugup murid tersebut memperkenalkan diri. “Halo semuanya, nama saya Hana ” Ucapnya dengan malu-malu. Lalu Bu Ani pun kembali menyeru “Mohon perhatiannya! Jadi anak-anak, Hana ini adalah murid pindahan. Hana pindah ke SMA kita karena urusan pekerjaan orang tuanya yang mengharuskan pindah...”. Lalu tiba-tiba saja salah seorang murid memotong penjelasan dan dengan lantangnya bertanya “Ibu! Kenapa dia pake kursi roda segala bu?”. “Gak ada sopan-sopannya anak satu ini, udah masuk SMA kelakuan kayak anak SD” gumam diriku di dalam hati.

                “Baik Diki! Ibu akan jelaskan. Jadi Hana ini kakinya lumpuh karena kecelakaan, jadi mohon bantuannya untuk kalian semua bisa bantu dia supaya nyaman dikelas ini yah! Baiklah untuk sekarang silahkan hana untuk menempati meja yang kosong.” Seru Bu Ani kepada semua murid di kelas. Anehnya dikelas tidak ada yang terkejut ataupun mengasihani terhadap ceritanya. Sungguh aneh.

                Dia pun kemudian menghampiri meja kosong yang berada di samping meja ku. Untung saja jalan untuk lewat ke arah belakang ukurannya pas untuk kursi roda itu masuk. Dia mendorong roda tersebut dengan kedua tangannya dengan santai, tidak terlalu tergesa-gesa. Tas kecil yang ia bawa sudah menggantung di kursi rodanya. Kemudian Bu Ani kembali menyeru lagi “Ohh iya, kalau semisal dia perlu bantuan apa-apa, ibu titipkan kepada Andi saja ya”.

                “Loh.. kenapa harus saya bu?!” tanya kembali pada Bu Ani. Padahal aku hanya ingin mengikuti kelas dengan tenang, kok malah diriku yang harus jadi babu. “Gapapa kan ya Nadim, toh kamu juga ga terlalu aktif di organisasi, mending bantu Hana saja ya?”. Ucap Bu Ani dengan senyum.

                “Ko bisa-bisanya malah aku yang dipilih” gumam diriku dalam hati. Tapi memang ada yang tak beres di kelas ini, terlihat dengan jelas keegoisan mereka walaupun tidak terang-terangan. Guru yang tahu bahwa aku tak ikut eskul manapun membeban kan tanggung jawab ini, pintar sekali guru ini.

Dirinya tersenyum padaku, dan kubalas dengan memalingkan pandangan dengan cuek.

Pelajaran selanjutnya adalah pelajaran sejarah. Ia terlihat mencari-cari akan sesuatu. Ku amati dengan jauh, rupanya ia lupa tidak membawa alat tulis. Acuh tak acuh ku perhatikan. Haruskah ku beri pinjam alat tulisku? Dirinya terlihat kebingungan, semua murid di kelas tidak ada yang mempedulikan. Ada-ada saja kelas ini.

Ketika sedang melirik kesana-kemari, ia pun melirik ke arah ku. Tak sengaja kita saling tatapan, kemudian ia langsung melancarkan kesempatan untuk meminta bantuan. “Mmm... permisi kak, boleh minta bantuannya?” ucap dirinya dengan malu-malu. Tumben-tumbenan aku dibilang kakak. Sifatnya yang lemah lembut, terpikirkan olehku jika saja ia bertemu dengan perudung. Pastilah ia akan dirudung habis-habisan.

“Ohh.. mau minta apa emangnya?” jawab diriku dari pertanyannya. “ini kak, aku tadi kelupaan bawa pulpen, kakak bawa pulpen lebih? Kalau punya, saya boleh pinjam kak?” tanya lagi ia kepadaku.

Dimeja ku hanya terdapat 1 pulpen dan 1 pensil. Aku tidak terlalu suka menggunakan pulpen karena jika salah dalam menulis sulit untuk diperbaiki. Karena tidak terlalu dibutuhkan, ku pinjamkan saja pulpenku. “okeh, ini aku pinjemin pulpen nya! Trus kalo ngomong gausah pake kakak, toh kita juga seumurankan?” tanya padanya sambil memberikan pulpen.

                “Terimakasih kak, kalau begitu saya boleh tau nama kakak?” tanya balik ia kepadaku. “Panggil aja Nadin, dan jangan panggil lagi pake kakak, saya geli dengernya” jawab diriku sambil kembali memperhatikan pembelajaran. “Makasih Nadin, nanti saya kembalikan pulpennya” jawab ia sambil melihat kearahku dengan senyum.

                Singkat cerita bel sekolah sudah berbunyi. Murid-murid sudah bubar pada pembelajaran. Aku melihat diluar kelas ada satu orang asing yang sudah menunggu. ­­“Ohh ibunya kah?” gumam diriku. Setelah itupun aku langsung keluar kelas sembari melirik orang asing itu.

Langit cerah mulai memudar pada sore itu, di ikuti awan mendung yang menghampiri. Tetes air yang mula-mula membasahi tepat pada hidungku dan membuatku terbangun. Aku berbaring di bawah pohon yang dikelilingi rumput hijau sambil mendengar lagu membuatku tertidur lelap sampai lupa akan hari mulai gelap. Kulihat jam tanganku ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore.

“Wahh, sudah mau hujan...”

“Ya ampun, sudah jam 5 sore... Aku harus cepat ke stasiun!”

Akupun langsung bergegas mengemas tas dan pergi meninggalkan tempat tersebut. Saat itu adalah sepulang sekolah, aku sering bahkan selalu pergi ketempat tersebut setiap pulang sekolah menghabisi waktu. Jarak antara tempat tersebut dengan stasiun cukup dekat, dengan jalan kaki 15 menit sudah sampai.

Hujan mulai deras, diriku dengan tergesa-gesa lari menuju stasiun. Pijakan sepatu yang mencipratkan air kemana-mana tidak aku hiraukan. Untung saja jalanan saat itu sudah sepi karena orang-orang sudah berada di tempat teduh, jadi aku bisa berlari secepat mungkin. Ku berlari terbirit-birit seperti dikejar anjing, nyatanya hanya ingin mengejar keberangkatan kereta.

Syukurnya aku bisa sampai stasiun tetap keadaan kering, hanya beberapa air yang sedikit membasahi baju seragamku. Segera aku ambil tiket pulang untuk jadwal saat ini.

Keesokan harinya aku kembali hadir ke sekolah. Seperti biasa, aku datang lebih awal karena menjadi kebiasaan untuk diam di kelas sembari mendengarkan musik. Akan tetapi pada hari itu, Dia sudah hadir pada kelas itu lebih dulu. Ia melihatku dan memberi senyuman lalu menyapa “Hai Nadim!”. Aku yang sedikit tersipu, berusaha menjaga ekspresi biasa. “Oh, Hai juga...” ucapku dengan datar.

Akupun duduk di sebelah mejanya dekat dengan jendela. Ku buka jendela supaya angin pagi bisa masuk ke kelas. Kupejamkan mata dan mendengarkan musik dengan earphone sebelah. Karena jarang sekali ada yang datang ke kelas sepagi ini, rasanya jadi canggung. Begitupun diriku, jarang berkomunikasi dengan orang lain. Tetapi pada saat itu kecanggungannya terasa sangat mengganggu. Akupun mencoba basa-basi dengan ia.

“Ehmm... Hana!” sapa diriku dengan nada datar. “Eh iya ada apa Nadim?” jawab ia sambil melirik kearahku. “Dulu sekolah dimana?” tanya diriku dengan agak canggung. “Ohh dulu aku sekolah di SMA 1 Bandung” jawabnya. Aku tanya kembali dengan kurang mengenakan “Itu kakimu kenapa bisa begitu?”.

“Saat kecil kaki ku sudah lumpuh, mungkin sudah tidak ingat betul rasanya berlari” jawab dirinya sambil memandangi kakinya. Setelah mendengar hal tersebut aku tanya kembali dengan hati-hati “Bagaimana rasanya tidak bisa menggunakan kaki-kaki itu?”. “Ntah, segala halnya harus memerlukan bantuan orang lain. Dan hal itu sangat mengganggu.” Jawab dirinya dengan perasaan sedikit sedih. “Kadang terbesit dalam pikiranku, kenapa tuhan membuatku seperti ini? Hal tersebut belum kutemukan jawabannya sampai saat ini.” Jawab ia dengan memandang langit-langit. Aku yang terdiam sejenak mendengar dia berkata seperti itu. Sudah seharusnya untukku bersyukur terhadap apa yang didapat. Kemudian aku berkata lagi padanya “Pasti sangat sedih jika sulit untuk melakukan sesuatu, mungkin kalau aku jadi kamu... ntah apakah akan bertahan atau tidak. Jadi artinya mungkin kamu adalah yang orang-orang terpilih yang bisa bertahan.”

Kemudian ia kembali menyeru “hehe... makasih buat sarannya, itu sangat membantu.”

Semula saat suasana di kelas itu sunyi, kemudian masuklah murid-murid lain ke dalam kelas. Kita pun menyudahi pembicaraan tadi. Ini pertama kalinya diriku dapat berbicara dengan murid lain selain membicarakan tentang pelajaran.

                Setelah itu kami mulai sering berbincang-bincang. Ternyata ia memiliki hobi membaca buku dan sangat menyukai buku. Orang tuanya yang selalu menjaganya tetap dirumah membuat dirinya seolah-olah terkurung di dalam sangkar. Dengan buku lah ia dapat mengetahui dunia luar. Berbeda denganku, membaca mungkin hanya digunakan ketika ingin memahami materi pembelajaran.

                Suatu ketika pada jam istirahat, ia meminta bantuanku untuk membawanya pergi ke taman di sekolah. Aku yang dirasa ada tanggung jawab menemani dia, maka ku penuhi keinginannya. Disaat melewati kelas-kelas lain, banyak murid-murid lain memerhatikan kita berdua, hal itu sangat membuatku tidak nyaman, tetapi ia bersikeras ingin ke taman sekolah. Terdapat banyak taman disekolah ini, tetapi aku membawanya yang terdekat saja dengan kelas.

                “Duh ini orang-orang pada liatin kita, malesin... balik lagi aja yok?” ucapku pada Hana sambil terus mendorong kursi rodanya. “Udah ngga papa jangan peduli in, pokoknya bawa aja dulu aku ke taman.” Jawab dirinya dengan penuh semangat. “iyadeh tuan putri!” jawabku dengan nada mengejek.

                Ketika sudah sampai, ia langsung menyuruhku lagi agar dirinya bisa duduk di tempat duduk taman itu. “Eh Nad! Itu coba bantuin aku duduk disana coba!” ucap hana sambil menghampiri tempat duduk disana. “Weh mohon maaf saya bukan pelayan yah, kecuali mau bayar saya, silahkan saya bantu!” jawab diriku dengan kesal. “Uihh gitu amat kamu, hmm... yaudah nanti aku bayar deh, sekarang bantu dulu aku!” ucap dirinya dengan gampang. “Okeh janji ya! Yang ingkar janji nanti pantanya bisul!” ucap aku dengan mengangkat jari kelingking. Kemudian iapun menyetujuinya dan aku langsung membantu ia duduk di taman sana.

Disana ia membaca buku dengan menikmati sejuknya udara taman dan aku menunggunya sembari mendengarkan musik. Tentu aku juga tetap sadar untuk menjaganya jika terjadi apa-apa.

Sudah beberapa lama di dekat gerbang sekolah ada yang memanggil ke arah kami, ternyata itu adalah ibu Hana yang akan menjemput Hana. Kemudian aku membawanya pergi menuju ibunya yang sudah menunggu. Disana ibunya langsung berbicara padaku. “Ohh kamu Nadim yah? Kata hana kamu yah yang suka bantu-bantu dia? Makasih banget yah udah ngejagain Hana.” Ucap ibu Hana kepadaku. “Ohh ngga papa bu!” jawab diriku kepada Ibu Hana. “Lahh tadi katanya pengen dibayar?” tanya Hana kepadaku. “Ishh ngga ah tadimah cuman becanda doang!” jawabku kepada Hana dengan sedikit memarahinya. ­“Ohh begitu? Yaudah ini nih buat Nadim..” ucap ibunya sembari memberikan uang. “Eh ngga ibu, gapapa beneran, nanti kalo saya bantu lagi jadi gaenak, yaudah saya pulang dulu bu!” ucapku dengan menolak pemberian Ibu Hana dan pergi.

                Pada hari minggu diriku diajak untuk bermain kerumah nya, katanya ia memiliki koleksi buku yang aku inginkan. Ya, memang aku kurang suka membaca, tetapi membaca komik itu lain lagi. Akupun berangkat kerumahnya di jam 8 pagi, Rumahnya berwana hijau dengan pagar coklat dan nomor 40. Ku pencet bel di rumah tersebut, ternyata keluarlah dari depan pintu, menyuruh ku untuk masuk. Akupun masuk dan dia langsung mengarahkanku masuk ke kamarnya. Di dinding pada kamar itu di cat warna merah muda selayaknya perempuan yang menyukai hal-hal imut, dan dibagian kirinya terdapat lemari buku yang tidak terlalu besar, tetapi mungkin sudah bisa dikatakan sebagai perpustakaan pribadi.

                Ia pun langsung menunjukkan komik yang aku inginkan. “Nih kamu mau baca Silent voice ini kan?” ucap dirinya. “Wih kamu punya toh, aku pinjem yah? Udah lama pengen baca ini...” ucap diriku dengan senang. “Ambil aja, atau mau aku spoiler dulu ga?” ucapnya dengan sedikit tertawa. “Eh jangan dong! Saya tidak mentoleran orang yang suka spoiler!” ucapku dengan sedikit menaikan nada. “Hahaha, iyah deh iya!” ucap Hana.

                Setelah itu ia pun ingin pergi ke taman yang ada di kompleknya, karena ia sangat menyukai udara segar ketika membaca. Biasanya ia ditemani oleh pembantunya Mbok Eti, berhubung dia bersamaku, akhirnya akulah yang ia ajak. Tentu, ia akan menyuruhku membantunya duduk di kursi taman itu, Katanya duduk di kursi taman sangat nyaman. Kita pun saling membaca buku yang dibawa. Ia sangat menyukai buku geografis, ia bisa mengetahui ada apa saja yang ada di muka bumi ini. Kita membaca sampai siang hari, untungnya di taman itu memiliki pohon-pohon yang besar, cukup untuk memayungi orang yang ingin bersantai disana.

                Saat selang waktu dirinya tiba-tiba bertanya padaku “Nad! Akankah waktu bisa diputar kembali?” ucapnya. Akupun menjawab dengan tidak serius “Kalau ada tombol rewatchnya bisa sih!”. “Lah, jawab yang serius dong!” ucap dirinya dengan kesal.

                “Andaikan waktu bisa diulang... andaikan takdir bisa kupilih... mungkin aku bisa memposisikan diri menjadi seorang wanita yang kuat, yang bisa pergi kemanapun ku mau...” ucapnya sambil melihat ke arah langit. Aku disana kembali terdiam oleh perkataannya. Disana hening seketika, Akupun masih memikirkan apa yang harus ku jawab dengan perkataannya. “Itulah manuisa, tidak berdaya, cukup mengikuti arus takdir membawa...” jawabnya terhadap perkataan yang ia ucapkan. Aku masih diam terpaku di taman itu. Hanya mendengarkan apa yang Hana katakan. Aku lihat dengan sekilas ia mulai tercucur air mata. Ia pun langsung memalingkan wajahnya dan mengelapnya. Aku saat itu pura-pura saja tidak melihat dan kembali berdiam. Kemudian ia langsung mengajakku untuk kembali kerumahnya. Aku yang saat itu hanya bisa membantunya menemani.

                Tanggal 19 April ia menyuruhku untuk hadir ke perayaan ulang tahunnya. Ia mengundang teman-teman sekelas dan beberapa kerabatnya. Satu hari sebelumnya ia menyuruhku untuk menemaninya mencarikan baju untuk perayaannya. “Eh baju yang ini bagus ga?” tanya dia kepadaku. “Oh.. bagus-bagus!” jawabku. “Kalau yang ini bagus ga?” tanya lagi dirinya. “Oh bagus juga” jawab lagi diriku. “Lah ko bagus semua?” tanya kembali ia padaku. “Ya bajunya mah ya pasti bagus-bagus, harusnya nanya baju ini cocok ga? Gitu...” jawab kembali kepadanya. “Humm iyadeh iya...” ucap Hana. Lalu ia pun menyerah meminta saran dariku, alhasil dia memilih sendiri baju yang akan ia kenakan. Seperti biasa, di mall tersebut kami selalu dilirik oleh orang-orang lewat. Ketika sudah membeli baju yang diinginkan, kami mampir dahulu ke tempat minuman disana. “Ga di sekolah ga dimana, diliatin terus sama orang-orang. Kenapa ya” tanya diriku pada Hana. “itumah kamu kali, jalannya aneh! Haha!” jawab Hana dengan tertawa. “Ohh iya jangan lupa yah buat besok, kamu kasih aku kartu ucapan yah! Ingat yang ingkar janji nanti pantatnya bisul!” ucapnya dengan senyuman. “Iya-iya saya mengerti tuan putri!” jawabku pada Hana.

                Kemudian hari tersebut pun tiba. Perayaannya dilakukan jam 8 pagi, tidak ada aturan untuk dresscode nya, ntah aku yang kurang update, tetapi biarlah baju yang aku pakai sangat biasa saja. Aku datang sedikit terlambat karena terjebak kemacetan. Disana sudah banyak orang-orang yang hadir, ada teman sekelas juga. Mereka berpakaian sangat menarik. Mungkin cuma aku yang pakaiannya aneh. Aku berdiri di depan pintu rumahnya, mencari-cari dahulu apakah Hana ada di dalam. Kalau langsung masuk sendiri, rasanya sangat malu-malu in, jadi aku tunggu di luar saja. Kemudian Hana melihatku sudah datang. Dengan kursi rodanya ia mendorong dengan kedua tangannya menghampiriku. “Nah loh terlambat, jangan diulangi lagi ya!” ucap Hana. “Maaf kejebak macet tadi, macet dirumah sih hehe” ucapku sambil menggaruk-garuk kepala. “Yaudah silahkan masuk sini! Oh iya mana kartu ucapanmu?” tanya dia kepadaku. “Ohh ini aku bungkus dengan warna merah muda, sesuai dengan warna kamar kamu” jawab aku.

                Kemudian aku memasuki rumahnya, di dalam sana aku serasa yang paling kudet dengan style baju yang biasa-biasa saja. Akupun disana mencoba banyak hidangan-hidangan yang semuanya enak. Jarang sekali aku mencoba yang seperti ini, apalagi belum pernah aku melakukan perayaan ultah sampai semewah ini. Lalu disana, ia membaca satu per satu kartu ucapan yang diberikan. Buruknya aku, tidak pandai menulis bahkan hanya sebuah kartu ucapan. Alhasil aku menuliskan di kertas tersebut bahwa “hei aku tidak tau apa yang harus aku tulis, jadi intinya nanti saat sedang membaca kartu ucapan ini, kamu pura-pura aja ketawa dan senyum yah, biar yang lain ga tau kalo aku gabisa bikin kartu yang begini doang” tertulis disana.

               

                Pesta tersebut berlangsung sampai jam 1 siang. Semua tamu-tamu sudah bubar, karena melihat hanya ada ibu dan pembantunya disana, aku berinisiatif untuk memembantunya membereskan rumahnya. Hana pun menghampiriku dan berkata “Makasih yah udah hadir di pesta ini!”. “Ohh iya santai aja” jawabku pada Hana.

                Kemudian ketika aku ingin pulang, ibunya memberikan tumpangan untuk mengantarkanku pulang kerumah. Ketika di mobil dia mencoba berbicara denganku. “Nadim untuk hari ini terimakasih banyak yah udah mau hadir ke pestanya Hana” ucapnya. Aku selalu mengatakan tidak masalah ketika ibunya hana selalu mengucapkan terimakasih. Lalu Ibu Hana pun kembali berbicara padaku “Ibu sangat sangat berterimakasih sama kamu yang udah nemenin Hana. Dulu dia pendiem banget, tapi semenjak ketemu kamu dia selalu bicarain tentag kamu.” Ucapnya. Aku berpikir waduh kenapa ini, apa aku dikiranya suka sama dia ya? Aku yang saat disana hanya mengangguk-ngangguk terhadap apa yang dikatakan Ibu Hana.

                Tetapi disaat perjalanan itu juga ibu hana tiba-tiba berbicara sesuatu yang mengagetkan untukku. “Nadim, ibu ingin kasih tau kamu sesuatu...” ucapnya. “kasih tau apa bu?” tanya diriku pada Ibu Hana. “Sebenarnya... Hana itu sudah sakit dari saat dia SD. Dia didiagnosa mengidap penyakit kanker. Sampai sekarang ia harus merasakan sakit yang dideritanya. Penyakitnya ini bisa disembuhkan kalau dia mau dioperasi di rumah sakit singapura. Tapi katanya dia udah sangat sakit dan udah pengen nyerah aja”. Ucap ibu Hana. Aku yang disana duduk di kursi bagian kiri, terdiam membeku mendengar perkataan tadi. Why? Kenapa bilang sekarang? Kenapa bilang padaku yang padahal bukan siapa-siapanya? Gumam diriku di dalam hati. Kaki-kakiku merinding dan bahkan tidak bisa berkata apa-apa. Lalu Ibu Hana kembali melanjutkan bicaranya “Dana yang harusnya dipake untuk operasi, sudah dipakai untu perayaan tadi. Dan itupun Hana yang inginkan supaya kamu bisa dateng ke pestanya. Mungkin dia bertahan sampai sekarang karena masih ada kamu. Jadi hal yang ibu katakan.... Ibu sekali lagi terimakasih sama kamu yang udah nemenin Hana yah!” ucap ibu Hana.

                Seketika dunia terasa terhenti, perkataan ibu Hana tersebut membuat hati ini rasanya dicabik-cabik. Tidak ada sepatah kata pun yang bisa keluar dari mulut ini. Banyak pertanyaan kenapa harus karena diriku? Kenapa tidak operasi? Walaupun jawabannya sudah diberikan pada waktu itu. Bagaikan hati tidak mau menerima apa yang baru saja disampaikan. Bagai perkataan tersebut hanya sebuah kebohongan belaka.

                Setelah sampai di depan rumah, aku masih lemas tak berdaya mendengar hal itu. Aku membuka pintu mobil dan berterimakasih atas tumpangan yang diberikan. Mataku kosong dan badan terasa sangat lemas. Mengapa harus seperti ini jadinya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun