Hujan mulai deras, diriku dengan tergesa-gesa lari menuju stasiun. Pijakan sepatu yang mencipratkan air kemana-mana tidak aku hiraukan. Untung saja jalanan saat itu sudah sepi karena orang-orang sudah berada di tempat teduh, jadi aku bisa berlari secepat mungkin. Ku berlari terbirit-birit seperti dikejar anjing, nyatanya hanya ingin mengejar keberangkatan kereta.
Syukurnya aku bisa sampai stasiun tetap keadaan kering, hanya beberapa air yang sedikit membasahi baju seragamku. Segera aku ambil tiket pulang untuk jadwal saat ini.
Keesokan harinya aku kembali hadir ke sekolah. Seperti biasa, aku datang lebih awal karena menjadi kebiasaan untuk diam di kelas sembari mendengarkan musik. Akan tetapi pada hari itu, Dia sudah hadir pada kelas itu lebih dulu. Ia melihatku dan memberi senyuman lalu menyapa “Hai Nadim!”. Aku yang sedikit tersipu, berusaha menjaga ekspresi biasa. “Oh, Hai juga...” ucapku dengan datar.
Akupun duduk di sebelah mejanya dekat dengan jendela. Ku buka jendela supaya angin pagi bisa masuk ke kelas. Kupejamkan mata dan mendengarkan musik dengan earphone sebelah. Karena jarang sekali ada yang datang ke kelas sepagi ini, rasanya jadi canggung. Begitupun diriku, jarang berkomunikasi dengan orang lain. Tetapi pada saat itu kecanggungannya terasa sangat mengganggu. Akupun mencoba basa-basi dengan ia.
“Ehmm... Hana!” sapa diriku dengan nada datar. “Eh iya ada apa Nadim?” jawab ia sambil melirik kearahku. “Dulu sekolah dimana?” tanya diriku dengan agak canggung. “Ohh dulu aku sekolah di SMA 1 Bandung” jawabnya. Aku tanya kembali dengan kurang mengenakan “Itu kakimu kenapa bisa begitu?”.
“Saat kecil kaki ku sudah lumpuh, mungkin sudah tidak ingat betul rasanya berlari” jawab dirinya sambil memandangi kakinya. Setelah mendengar hal tersebut aku tanya kembali dengan hati-hati “Bagaimana rasanya tidak bisa menggunakan kaki-kaki itu?”. “Ntah, segala halnya harus memerlukan bantuan orang lain. Dan hal itu sangat mengganggu.” Jawab dirinya dengan perasaan sedikit sedih. “Kadang terbesit dalam pikiranku, kenapa tuhan membuatku seperti ini? Hal tersebut belum kutemukan jawabannya sampai saat ini.” Jawab ia dengan memandang langit-langit. Aku yang terdiam sejenak mendengar dia berkata seperti itu. Sudah seharusnya untukku bersyukur terhadap apa yang didapat. Kemudian aku berkata lagi padanya “Pasti sangat sedih jika sulit untuk melakukan sesuatu, mungkin kalau aku jadi kamu... ntah apakah akan bertahan atau tidak. Jadi artinya mungkin kamu adalah yang orang-orang terpilih yang bisa bertahan.”
Kemudian ia kembali menyeru “hehe... makasih buat sarannya, itu sangat membantu.”
Semula saat suasana di kelas itu sunyi, kemudian masuklah murid-murid lain ke dalam kelas. Kita pun menyudahi pembicaraan tadi. Ini pertama kalinya diriku dapat berbicara dengan murid lain selain membicarakan tentang pelajaran.
Setelah itu kami mulai sering berbincang-bincang. Ternyata ia memiliki hobi membaca buku dan sangat menyukai buku. Orang tuanya yang selalu menjaganya tetap dirumah membuat dirinya seolah-olah terkurung di dalam sangkar. Dengan buku lah ia dapat mengetahui dunia luar. Berbeda denganku, membaca mungkin hanya digunakan ketika ingin memahami materi pembelajaran.
Suatu ketika pada jam istirahat, ia meminta bantuanku untuk membawanya pergi ke taman di sekolah. Aku yang dirasa ada tanggung jawab menemani dia, maka ku penuhi keinginannya. Disaat melewati kelas-kelas lain, banyak murid-murid lain memerhatikan kita berdua, hal itu sangat membuatku tidak nyaman, tetapi ia bersikeras ingin ke taman sekolah. Terdapat banyak taman disekolah ini, tetapi aku membawanya yang terdekat saja dengan kelas.
“Duh ini orang-orang pada liatin kita, malesin... balik lagi aja yok?” ucapku pada Hana sambil terus mendorong kursi rodanya. “Udah ngga papa jangan peduli in, pokoknya bawa aja dulu aku ke taman.” Jawab dirinya dengan penuh semangat. “iyadeh tuan putri!” jawabku dengan nada mengejek.