"Lalu bagaimana dengan tato ini?" Bara gelisah.
Aysel hanya melirik sekilas.
"Dokter bilang, kondisiku belum cukup kuat untuk hapus tato."
"Dan kamu senang? Memperpanjang usia tatomu itu kan?"
"Ya."
Aysel mulai memejamkan mata menahan pedih.
Bara melanjutkan, "Tapi aku lebih senang memenuhi syarat pranikah darimu."
"Simpan pembicaraan ini sampai tamu-tamu pulang di hari sakral itu."
Bara mendekat, hampir menghilangkan jarak antara dirinya dan Aysel. Namun urun, ia mundur dan bergumam pelan: "Lelaki sebrengsek aku, diberi kesempatan membersamai wanita sepertimu, Sel. Episode bualan macam apa lagi ini?"
Kali ini, Aysel yang maju. Menyisakan jarak mata hanya dua jengkal saja. Nadanya bergetar, bergerak bersuara: "Sialnya, wanita baik-baik sepertiku harus kacau karena lelaki brengsek sepertimu! Itu yang mau kau dengar dari mulutku? Egomu puas?"
"Ya, sangat puas! Katakan lagi, Sel!"
"Kamu, adalah semua kriteria yang paling aku hindari; pemabuk, perokok, doyan dunia malam, centil, ibadah bukan prioritasmu. Tapi, potensi baikmu ku lihat lebih besar dari itu. Aneh, kan? Tiap doa malamku tertuju padamu."
Bara menatap Aysel. Pandangan mereka bersirobak.
"Potensi baik apa?"
"Sikapmu pada ibu, sayangmu pada keponakan, pembawaanmu pada kawan-kawan."
"Apa itu cukup?"
"Tidak, Bara!"
"Lalu, apa yang mencukupkanmu pada aku?"
"Keadaanmu yang hampir mati, ketakutanmu melepaskan aku lagi."
Bara terbahak, akhirnya dia tau isi hati Aysel di H-5 pernikahannya. Melihat itu, Aysel sudah mengambil ancang-ancang untuk pergi.Â
"Kalau saat itu aku mati, apa kamu sedih Sel?"
"Mungkin."
"Dan, kamu akan menerima lamaran Arga?
"Pasti."
"Oh, menarik! Kenapa kamu tolak dia disaat dia sudah siap?"
"Bukan urusanmu."
Bara mulai gemas dengan sikap Aysel.
"Jelas urusanku, Sel! Kamu calon istriku, aku berhak tau semuanya."
"Oh, kalau begitu ceritakan padaku apa yang kamu lakukan selama 4 tahun pacaran dengan mantan terakhirmu? Kamu tidur dengannya? Atau apa?"
"S-se-l-l...."
Aysel membuang muka, jelas Bara terpojok.
"Aku dan Arga tidak pernah memulai apapun. Tidak ada yang perlu diakhiri. Saat dia datang dengan bawa semua jawaban yang kuminta setahun lalu, udah ga relevan. Aku ga butuh lagi. Bagiku cerita dia sudah tamat. Begitu juga saat dia yang pada akhirnya melamarku, mudah untuk jawab ya."
Wajah Bara memerah menahan amarah.
"Ya, jika dia lakukan setahun lalu. Sebelum aku bertemu lelaki brengsek yang berkhianat ditengah jalan perkenalan, lelaki temperamen yang posesif, lelaki hampir mati karena paru-parunya terendam tapi malah kembali pada Tuhannya di ujung ujiannya." Aysel tersedu.
"Lukamu sedalam itu karena aku ya, Sel?"
"Benar. Dan kau pun obatnya."
Bara tersenyum, Aysel menjauh menuju pintu keluar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H