“Baiklah.” wajahnya tampak pasrah sekali. Entah apa yang ada di pikirannya.
“Kamu sudah empat tahun tidak pernah ikut reuni bersama teman-teman.” kataku mengalihkan pembicaraan.
“Ya, dan gara-gara itu aku ketinggalan kabar bahagia darimu. Empat tahun dan aku baru tahu kabar pasti itu hari ini.” Dia menekankan kata “bahagia”.
“Maaf.” kata itu muncul bersamaan dari bibir kita. Entah kali ini siapa yang harus meminta maaf dan siapa yang harus dimaafkan. Atau mungkin cerita kita yang salah.
“Kamu tiba-tiba tanpa kabar.” kataku kemudian.
“Aku kuliah lagi di Perancis.”
“Ya, aku tahu dari sosial mediamu. Dan terakhir kudengar, kamu mencintai seorang adik kelasmu. Ah, siapa namanya?”
“Kania.”
“Ya. Kania.” Aku mengejanya sambil menelan ludah. Seperti membuka sebuah lembaran luka lama. Dia diam beberapa detik, tidak menjelaskan apa-apa. Mata kami tertuju pada Rizhar yang masih terus berusaha menyelesaikan pesawat kertasnya sambil duduk di sebuah rerumputan di depan kami.
Seorang penjual gantungan kunci menghampiri kami, menawarkan gantungan kuncinya. Aku kemudian membeli dua buah. Dia hanya menggeleng saja.
“Kenapa beli dua?”