“Mamaaaaaa…” laki-laki kecil berusia 3 tahunan itu berlari kecil mengarah kepadaku. Aku membenarkan jilbab, lalu menyandarkan lutut di tanah, menunggu pelukannya. Ya, seperti kuduga, dia memelukku erat sekali.
“Lizhal tadi ketemu sama Om-om, dibikinin pesawat ini, Ma.” katanya kemudian setelah melepaskan pelukanku. Aku mengerutkan dahi. Menunggu kejutan apalagi yang dibawa oleh pangeran kecilku. Sebelas hari ini, sepulang sekolah, dia selalu bercerita tentang ibu gurunya, hampir cerita yang sama. Tapi, di beranda sekolah bermain ini, aku selalu menunggu cerita-ceritanya dengan perasaan bahagia, tak peduli cerita yang sama itu terus berulang. Sama bahagianya seperti sebelas hari lalu ketika dia mengenakan seragam sekolah pertamanya.
“Mama, Ibu gulu nyuluh Lizhal nyanyi lagi, tapi Lizhal nggak mau, Lizhal kan sukanya nggambar.” Begitu biasanya ia bercerita. Tapi entah kenapa ceritanya hari ini berbeda. Tentang “om-om” katanya. Entah siapa yang dimaksud.
“Pesawat apaan , Rizhar sayang?”
“Jet mini, Ma.”
Tanganku tiba-tiba berhenti mengelus rambutnya.
“Ini, Ma.” Si kecil Rizhar mengeluarkan pesawat kertas dari sakunya.
Aku mengaburkan perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar di tubuhku. Kuusap lagi rambutnya, kali ini lebih keras.
“Ah, Mama juga bis..”
Aku belum selesai berbicara ketika tiba-tiba Rizhar berteriak dan menunjuk seseorang yang berada di luar pagar sekolah. “Mamaaa, itu Omnyaaaaaaaaaa..” Tangan kecilnya kemudian menyeretku ke depan, membuatku tidak bisa menolak lagi. Rizhar benar-benar menggambarceritanya hari ini. Sungguh, ini benar-benar kejutan.
Laki-laki yang disebut “Om” oleh Rizhar itu menoleh. Ia melepas kacamatanya. Caranya menatapku sama seperti caraku menatapnya. Tatapan bingung. Mungkin, kita sama-sama tidak percaya dengan apa yang ada di depan mata kita. Aku kemudian menunduk. Dia memakai kembali kacamatanya, lalu memendekkan tubuhnya untuk menyejajarkan kepalanya dengan kepala Rizhar.