“Hai, kita ketemu lagi ya? Kenapa, Robokop?”
Lalu mereka menepukkan genggaman jari mereka di pundak masing-masing, seperti sebuah ritual salam perjumpaan dua sahabat yang sudah sangat akrab. Dan, apa? Dia memanggil Rizhar dengan sebutan ‘Ro-bo-kop’?
“Ini tantenya Rizhar ya?” kata laki-laki itu lembut. Entah kenapa dia menyebut ‘tante’.
“Bukan, Om. Ini Mamaku. Kenalin deh.” jawab Rizhar polos.
Dia masih dalam posisi jongkok, aku berdiri. Mata kanannya memicing ke atas, melirikku. Aku tersenyum. Dia kemudian juga tersenyum. Aku sudah tidak tahu bagaimana kecamuknya dadaku.
“Nama mamanya siapa?”
“Alika. Nama Om siapa?”
“Mama Alika? Salam kenal. Saya Fardan.” Kagok sekali dia mengatakannya. Dia kemudian berdiri. Masih memamerkan senyumnya. Sungguh aneh kita berkenalan selama dua kali dalam hidup kita. Aku hanya mampu menganggukkan kepala sambil tersenyum. Menahan air mata yang tiba-tiba memaksa ingin jatuh. Aku tahu, kali ini wajah kita sama-sama ingin berkata, “Bagaimana bisa kita bertemu lagi dalam situasi seperti ini?”
Sebuah musik dari handphone-ku berdering, mencairkan suasana yang sebenarnya memang sangat perlu dicairkan. Ya, kupikir telepon itu akan mencairkan suasana, nyatanya malah membuat semuanya menjadi semakin terasa absurd.
“Iya, waalaikumsalam, Mas.” Aku sedikit menjauh demi mengangkat telepon itu.
“Mama, Ayah ya yang telepon? Suruh cepet jempuuuuuttt. Biar bisa jalan-jalan sama Om Faldan. Iya kan, Om?” sekali lagi Fardan tersenyum menanggapi celotehan si kecil Rizhar.