Mohon tunggu...
AyuRina Maharani
AyuRina Maharani Mohon Tunggu... Engineer -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Duh Gusti...

9 Juni 2017   12:30 Diperbarui: 9 Juni 2017   17:17 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kita tidak bisa memilih dalam keluarga dan dari orang tua mana akan dilahirkan. Keluarga adalah takdir, adalah anugerah yang harus diterima dengan segala syukur

Bukan pilihanku untuk terlahir dari orang tua yang berbeda keyakinan, Bapak Nasrani dan Ibu seorang Muslim. Terlebih hal itu membuatku kenyang hujatan dan makian sejak kecil. Maha Besar Engkau yang telah menciptakan rasa bernama sabar dan ikhlas, yang membuatku tegar menerima segala takdir-Mu.

Beruntunglah aku memiliki orang tua yang bijak. Sedari keci aku sudah diperkenankan memilih agamaku sendiri meskipun aku belum mengerti. Mereka percaya, Yang Maha Esa telah menciptakan nurani dan naluri yang akan menuntunku memilih Al-Qur'an atau Alkitab, memilih tasbih atau rosario, serta memilih ikut Ibu ke masjid atau turut ke gereja bersama Bapak. Dan akhirnya aku memilih agamaku sendiri.

---

"Mbun, ayo cepet masuk kelas! Ojo nganti Bu Sukma ngomel"

Nanik menggandeng tanganku sambil berlari, berlari menuju kelas Bu Sukma. Ya, Bu Sukma seorang guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang terkenal galak dan tanpa ampun.

"Huuuh, tiwas mlayu-mlayu jebul Bu Sukma dhurung nang kelas. Kesel aku Nik"

Aku menggerutu sambil meletakkan tasku di laci. Tak lama berselang, Bu Sukma masuk kelas dan mengunci pintu kelas kami dari dalam.

Bu Sukma lantas memulai pelajaran, kebetulan pelajaran kali ini menyinggung masalah status kewarganegaraan dan garis keturunan. Pada sesi terakhir Bu Sukma mengeluarkan pertanyaan yang nampaknya agak menyimpang dari pembelajaran.

"Ayo, kok ora ono sing takon? Opo wis podo mudeng kabeh?"

Mata Bu Sukma menjelajah setiap wajah-wajah kami yang menyiratkan ketidakpahaman.

"Mbun, takon ndang. Ben aku ora dikon takon"

Bisik Nanik sembari mencubit pahaku.

"Kenapa kalian tidak bertanya mengenai status seorang anak yang terlahir dari orang tua yang beda agama?"

Duh Gusti... Mata Bu Sukma mengarah padaku. Aku gemetar, takut dijadikan bahan olok-olokan teman satu kelas sekaligus Bu Guru satu ini.

"Embun! Kamu anaknya Pak Komite yang Nasrani itu kan? Ibumu Islam bukan?"

Bu Sukma menanyaiku dengan lantang seolah hanya kami berdua di ruangan itu.

"Iya Bu..."

Jawabku sembari mengelap telapak tanganku yang mulai dibanjiri keringat. Aku melihat wajah Nanik iba terhadapku.

"Nah anak-anak, Embun ini merupakan salah satu contoh anak yang bisa dikatakan haram. Kenapa? Karena terlahir dari orang tua yang berbeda keyakinan. Meskipun waktu menikah mereka satu agama ya"

Kurasakan dadaku semakin sesak, suasana semakin hening dan beberapa pandangan mengarah padaku. Aku tertunduk menahan sedih, menahan takut, menahan perih yang tak bisa digambarkan. Sementara Bu Sukma semakin merajai ruangan dengan kicauannya. 

Aku tahu, yang dikatakan Bu Sukma memang benar adanya. Namun tak sepantasnya untuk diungkap di depan kelas, di depan teman-temanku. Tak tahan mendengar cercaannya aku lantas menimpali Bu Sukma dengan suara yang sedikit berat karena menahan tangis.

"Bu, tentunya Ibu sudah sangat hafal dengan isi perundang-undangan. Saya tau Ibu pun tak asing dengan pasal 28E ayat (1)"

Bu Sukma pun terlihat kesal dan hanya menjawab singkat 

"Kamu ndak sopan ya! dibilangin malah menggurui"

Setelah saat itu rasanya aku ingin sekali untuk pindah sekolah. Ya, sekolah yang tidak perlu meminta data pribadi siswanya. Agar aku tak perlu mencantumkan agama-agama yang dianut olehku dan keluargaku.

---

Tiga hari setelah kejadian itu,

"Mbun, ke ruangan BK (Bimbingan dan Konseling) sebentar yo Nduk"

"Nggih Bu"

Bu Ummi, sosok guru yang sangat keibuan dan mengayomi setiap anak didiknya, sesuai dengan namanya 'Ummi'. Aku lantas duduk di sofa depan meja kerjanya. Bu Ummi duduk di sampingku sambil mengusap-usap kepalaku.

"Kamu ada masalah apa sama Bu Sukma to Nduk? Matur apa kok sampe dibilang nggak sopan?"

Setelah itu ku ceritakan mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Aku jelaskan kepada Bu Ummi mengenai kondisi keluargaku dan juga kejadian di kelas Bu Sukma waktu itu.

"Bu, apa yang akan Ibu lakukan kalau Ibu di posisi saya? Siapa anak yang tidak ingin melihat keluarganya kompak? Saya selalu berdoa agar Bapak segera diberi hidayah, supaya saya bisa seperti teman-teman Bu. Saya juga tidak bisa memilih dari keluarga mana dilahirkan. Saya tahu kedua orang tua saya melakukan kesalahan terhadap Gusti Allah tapi seharusnya Bu Sukma yang agamis itu pernah membaca surat Al-Kafirun."

"Duh Gusti... Embun"

Bu Ummi mengusap air mata yang mulai tumpah di wajah teduhnya seraya memeluk dan menciumi keningku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun