Oh nurani...
Sesuatu mengetuk nurani
Siang ini
Seorang Pak Tua dengan tas jinjing hitam
Berselempang di bahu kirinya
Berjalan menapaki angkuhnya trotoar kota
Terik...
Ya terlampau terik bahkan
Dan Pak Tua tetap melangkahkan kakinya
Menyusuri sengitnya siang kota Jogja
Sesekali mengalihkan pandangannya
Pada kendaraan-kendaraan yang lalu lalang
Dan gedung-gedung muda yang berdiri gagah di sekelilingnya
Mungkin panasnya jogja
Turut  menghangatkan bara  semangat
Yang terpatri kuat
Pada kulit yang mulai mengeriput
Diatas rambut yang telah memutih
Dan diantara sendi-sendi yang mulai merapuh
Pak Tua dengan jiwa belia
Dalam balutan raga senja
Mata yang sayu
Urat-urat menggeliat disekujur tangan
Dan rambu yang telah memutih
Semakin menegaskan
Bahwa ia telah lama
Lama sekali
Mengunyah pahit getir kehidupan
Hiruk pikuk Jogja siang hari
Mungkin membuat langkahnya lelah
Dan Pak Tua  berhenti sejenak
Pada sebuah warung makan sederhana
Dengan hati-hati
Pak Tua meletakkan tas jinjing hitamnya
Tas jinjing yang entah apa isinya
Pada sebuah kursi sederhana
Dibalik jendela
Dengan langkah  lelah
Ia mulai mengambil piring
Sendok
Kemudian nasi
...
Sambal
Sambal
Dan sambal lagi
Pak Tua nampak bimbang
Entah ia ingin apa lagi
Untuk santap siangnya kali ini
Sambal
Daun singkong
Dan
OhÂ
Sudah
Itu saja
Dibawanya santapan itu ke kursi semula
Tangan rentanya tertatih mengambil gelas kaca
Lalu dituangnya air bening kedalamnya
Terlampau lapar
Mungkin
Ia begitu menikmati apa yang ada dihadapannya
Menikmati makanan itu
Yaa
Pemandangan yang begitu menyayat kalbuku
Di usianya yang tak lagi belia
Harusnya ia mendapatkan yang lebih dari itu
Entah
Apa yang mebuatnya begitu lahap
Begitu menikmati
Nampak bahagia
Tanpa raut muram
Mungkin syukur
Yaa...
Syukur
Mungkin satu kata itu
Yang mebuatnya begitu lahap
Tapi
Aku tak sanggup memandangnya terlalu lama
Meski matanya teduh
Meski wajahnya damai
Aku haru
Pedih
Melihat seorang renta
Yang gigih memperjuangkan hidupnya
Sedangkan aku?
Harusnya aku malu
Pada apa yang telah aku lihat
Tuhan...
Dimana mataku?
Dimana nuraniku?
Aku malu
Malu
Selalu merasa
Bahwa akulah yang paling menderita
Akulah yang paling sengsara
Akulah yang paling malang
Akulah yang paling kurang
Dan paling parah
Aku merasa
Akulah manusia sabar
Padahal
Pak Tua tadi
Lebih segalanya dariku
Ooh
Bagaimana bisa aku merasa kurang?
Sedangkan sesamaku lebih kekurangan dariku
Bagaimana bisa aku merasa menderita?
Sedangkan banyak yang lebih menderita daripada aku
Bagaimana bisa aku merasa malang?
Sedangkan diluar sana masih banyak yang tak lebih mujur dariku
Tuhan
Terangi hatiku
Penuhi nuraniku dengan kucuran cahaya-Mu
Biarkan aku bersyukur atas derasnya limpahan rahmat-Mu
Beri aku kesempatan
Untuk membagi hidupku
Untuk membagi kehidupanku
Untuk menghidupkan kehidupan
Untuk sesamaku
Tuhan
Jujur
Aku merasa kerdil di hadap-Mu
Aku merasa seperti seonggok daging
Yang hanya mempunyai nama
Aku merasa belum berguna
Harusnya aku malu
Malu
Tapi ternyata selama ini
Aku malu mengakui bahwa aku malu
Dan hari ini
Aku benar-benar malu
Malu
Tersudut
Dan terbenam dalam anggunnya petuah-Mu
Yogyakarta, 29 Januari 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H