Mohon tunggu...
AyuRina Maharani
AyuRina Maharani Mohon Tunggu... Engineer -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi | Harusnya Aku Malu

20 Maret 2017   14:41 Diperbarui: 21 Maret 2017   00:00 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Oh nurani...

Sesuatu mengetuk nurani

Siang ini

Seorang Pak Tua dengan tas jinjing hitam

Berselempang di bahu kirinya

Berjalan menapaki angkuhnya trotoar kota

Terik...

Ya terlampau terik bahkan

Dan Pak Tua tetap melangkahkan kakinya

Menyusuri sengitnya siang kota Jogja

Sesekali mengalihkan pandangannya

Pada kendaraan-kendaraan yang lalu lalang

Dan gedung-gedung muda yang berdiri gagah di sekelilingnya

Mungkin panasnya jogja

Turut  menghangatkan bara  semangat

Yang terpatri kuat

Pada kulit yang mulai mengeriput

Diatas rambut yang telah memutih

Dan diantara sendi-sendi yang mulai merapuh

Pak Tua dengan jiwa belia

Dalam balutan raga senja

Mata yang sayu

Urat-urat menggeliat disekujur tangan

Dan rambu yang telah memutih

Semakin menegaskan

Bahwa ia telah lama

Lama sekali

Mengunyah pahit getir kehidupan

Hiruk pikuk Jogja siang hari

Mungkin membuat langkahnya lelah

Dan Pak Tua  berhenti sejenak

Pada sebuah warung makan sederhana

Dengan hati-hati

Pak Tua meletakkan tas jinjing hitamnya

Tas jinjing yang entah apa isinya

Pada sebuah kursi sederhana

Dibalik jendela

Dengan langkah  lelah

Ia mulai mengambil piring

Sendok

Kemudian nasi

...

Sambal

Sambal

Dan sambal lagi

Pak Tua nampak bimbang

Entah ia ingin apa lagi

Untuk santap siangnya kali ini

Sambal

Daun singkong

Dan

Oh 

Sudah

Itu saja

Dibawanya santapan itu ke kursi semula

Tangan rentanya tertatih mengambil gelas kaca

Lalu dituangnya air bening kedalamnya

Terlampau lapar

Mungkin

Ia begitu menikmati apa yang ada dihadapannya

Menikmati makanan itu

Yaa

Pemandangan yang begitu menyayat kalbuku

Di usianya yang tak lagi belia

Harusnya ia mendapatkan yang lebih dari itu

Entah

Apa yang mebuatnya begitu lahap

Begitu menikmati

Nampak bahagia

Tanpa raut muram

Mungkin syukur

Yaa...

Syukur

Mungkin satu kata itu

Yang mebuatnya begitu lahap

Tapi

Aku tak sanggup memandangnya terlalu lama

Meski matanya teduh

Meski wajahnya damai

Aku haru

Pedih

Melihat seorang renta

Yang gigih memperjuangkan hidupnya

Sedangkan aku?

Harusnya aku malu

Pada apa yang telah aku lihat

Tuhan...

Dimana mataku?

Dimana nuraniku?

Aku malu

Malu

Selalu merasa

Bahwa akulah yang paling menderita

Akulah yang paling sengsara

Akulah yang paling malang

Akulah yang paling kurang

Dan paling parah

Aku merasa

Akulah manusia sabar

Padahal

Pak Tua tadi

Lebih segalanya dariku

Ooh

Bagaimana bisa aku merasa kurang?

Sedangkan sesamaku lebih kekurangan dariku

Bagaimana bisa aku merasa menderita?

Sedangkan banyak yang lebih menderita daripada aku

Bagaimana bisa aku merasa malang?

Sedangkan diluar sana masih banyak yang tak lebih mujur dariku

Tuhan

Terangi hatiku

Penuhi nuraniku dengan kucuran cahaya-Mu

Biarkan aku bersyukur atas derasnya limpahan rahmat-Mu

Beri aku kesempatan

Untuk membagi hidupku

Untuk membagi kehidupanku

Untuk menghidupkan kehidupan

Untuk sesamaku

Tuhan

Jujur

Aku merasa kerdil di hadap-Mu

Aku merasa seperti seonggok daging

Yang hanya mempunyai nama

Aku merasa belum berguna

Harusnya aku malu

Malu

Tapi ternyata selama ini

Aku malu mengakui bahwa aku malu

Dan hari ini

Aku benar-benar malu

Malu

Tersudut

Dan terbenam dalam anggunnya petuah-Mu

Yogyakarta, 29 Januari 2013

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun