"Di antara reruntuhan negara yang roboh, para pemulung, pengemis, gelandangan, preman, saling berbagi dan tukar tambah ayat-ayat suci dengan ramai, menyimpannya di bawah tikar bobrok yang menyelamatkan hidup mereka."
Dalam penggalan puisi di atas, penulis menggunakan hiperbola sebagai dasar utama sarana retorika dalam menggambarkan keadaan, sekaligus terasa pula sindiran digunakan dalam bentuk sarkasme.Â
Bagaimana keadaan negara digambarkan secara berlebihan dalam  reruntuhan negara yang roboh dan penyebutan rakyat kecil dalam penggunaan sinekdoki totum pro parte disebutkan para pemulung, pengemis, gelandangan, preman, yang kemudian digambarkan secara sarkas  saling berbagi dan tukar tambah ayat-ayat suci dengan ramai, menyimpannya di bawah tikar bobrok yang menyelamatkan hidup mereka.Â
Sekaligus terasa pula sebuah ironi bahwa rakyat dengan kesusahan hidupnya digambarkan mempergunakan ayat-ayat suci yang digambarkan secara sarkas dibagi dan ditukar tambah untuk kemudian menyimpannya di bawah tikar bobrok yang menyelamatkan hidup mereka.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H