Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Ayyubi
Muhammad Irfan Ayyubi Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Bapak dua anak yang percaya kalau ganti popok tengah malam itu lebih dramatis dari adegan sinetron. Rajin menulis di tengah chaosnya kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Membedah Penyiasatan Struktur/Sarana Retorika dan Permajasan Puisi Berburu Ayat-ayat Suci Karya Danarto

12 November 2021   14:07 Diperbarui: 12 November 2021   15:47 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Berburu Ayat-Ayat Suci (Danarto)

Danarto

 
Orang-orang berbondong berburu ayat-ayat suci. Berebut di masjid, pasar, kampus, stasiun, mall, caf, dan warung-warung tegal. Dengan teriakan, tangisan, dan gelak tawa, rakyat antre siang malam memunguti sisa-sisa tiang negara yang roboh. O, tsunami, gempa, tanah longsor, dan banjir yang susul-menyusul, menciptakan para pedagang, melenyapkan air bersih, menyingkirkan orang-orang suci dari percaturan peradaban. 

Baca selengkapnya di sini  

 10.10.2005

Sebelum menganalisis, sebagai pengantar, saya akan memandang penggunaan stile seperti yang dipaparkan Nurgiyantoro (2017:47) bahwa stile dilihat sebagai sesuatu yang membungkus pikiran, perasaan, gagasan, pesan pengalaman atau apa saja yang ingin dikomunikasikan oleh pengarang. Bisa dikatakan, bahwa unsur-unsur yang akan dikaji dalam puisi di atas, adalah sebuah bingkai yang diracik penulis, untuk memberikan kesan pada pembaca, hingga pembaca memahami apa yang ingin disampaikan penulis lewat puisinya.

Karena puisi di atas memiliki struktur yang tidak biasa seperti kebanyakan struktur puisi lain, maka saya tertarik mengkaji penyiasatan struktur atau disebut juga sarana retorika yang digunakan penulis beserta bentuk permajasannya.

Secara bentuk, puisi Berburu Ayat Suci memiliki bentuk seperti paragraf dalam cerpen. Jika diamati lebih lanjut, puisi ini berjenis naratif-deskriptif. Puisi ini, memiliki sarana retorika berupa pengontrasan. Nurgiyantoto (2017 :260) memaparkan bahwa pengontrasan ialah suatu bentuk gaya  yang menuturkan sesuatu secara berkebalikan dengan sesuatu yang disebut secara harfiah.

Pengontrasan yang dilakukan oleh Danarto sebagai penulis dalam puisi ini berupa Hiperbola. Hiberbola dipaparkan oleh Nurgiyantoro (2017:261) biasanya dipakai jika seseorang ingin melebihkan sesuatu yang dimaksudkan dibandingkan keadaan yang sebenarnya dengan maksud menekankan penuturannya. Hal ini tentu dilakukan supaya mendapatkan impresi tentang apa yang dimaksudkan dalam tulisannya-dalam hal ini puisi yang ditulisnya.

"Orang-orang berbondong berburu ayat-ayat suci. Berebut di masjid, pasar, kampus, stasiun, mall, caf, dan warung-warung tegal."

Jika membaca secara cermat, apa yang berusaha dideskripsikan oleh penulis, tentu terasa berlebih-lebihan. Unsur hiperbola dalam puisi ini sangat terasa, bagaimana orang digambarkan berbondong berburu ayat-ayat suci dengan Berebut di masjid, pasar, kampus dan sebagainya. 

Selain terasa digambarkan secara berlebihan, permajasan dalam kalimat  Berebut di masjid, pasar, kampus, stasiun, mall, caf, dan warung-warung tegal juga dapat diidentifikasi menggunakan sinekdoki Totum Pro Parte, karena menyebutkan bagian-bagian yang dimaksudkan tempat umum secara keseluruhan. 

Dalam penggalan kalimat pada puisi di atas bisa dimaksudkan sebagai keadaan/ fenomena di dalam masyarakat kita, bahwa dalil yang disebut dalam puisi sebagai ayat-ayat suci sedang ramai dicari atau barangkali dibicarakan di tempat umum. Kalimat-kalimat selanjutnya akan menggambarkan lebih lanjut fenomena-fenomena masyarakat--atau dalam konteks pada puisi ini rakyat--beramai-ramai mencari ayat-ayat suci tersebut.

"Dengan teriakan, tangisan, dan gelak tawa, rakyat antre siang malam memunguti sisa-sisa tiang negara yang roboh."

Kembali pada penggalan di atas, penulis mengambarkan keadaan masyarakat sebagai Dengan teriakan, tangisan, dan gelak tawa,  dengan sarana retorika hiperbola, juga dengan majas sinekdoki totum pro parte dengan menyebutkan bagian-bagian dari penggambaran bagaimana perasaan rakyat. 

Hal itu juga terasa pada, rakyat antre memungut sisa-sisa tiang negara yang roboh. Hiperbola dalam keadaan penggambaran rakyat, dan tiang negara juga diidentifikasi sebagai sinekdoki pars pro toto, dalam penggambaran keseluruhan negara, salah satu unsur di dalam negara yaitu tiang yang berfungsi untuk penyangga negara, digambarkan secara hiperbola pula bahwa tiang itu kini telah roboh. Menurut saya, apa yang penulis sampaikan adalah keadaan masyarakat yang kacau-balau karena hal yang dimaksud tiang negara roboh adalah unsur penyangga dalam sebuah negara telah megalami kehancuran, sehingga dihiperbolakan seakan-akan roboh.

"O, tsunami, gempa, tanah longsor, dan banjir yang susul-menyusul, menciptakan para pedagang, melenyapkan air bersih, menyingkirkan orang-orang suci dari percaturan peradaban."

Penggalan puisi di atas, menggunakan sarana retorika pengkontrasan berupa ironi, sekaligus menggunakan totum pro parte karena menyebutkan berbagai bencana alam, yang kemudian ironinya digambarkan dengan menciptakan para pedagang, melenyapkan air bersih, menyingkirkan orang-orang suci dari percaturan peradaban. Seolah-olah bencana yang disebutkan tadi telah memporak-porandakan tatanan masyarakat, bagaimana pula digambarkan air bersih, sebagai hal yang paling dasar dalam kebutuhan manusia lenyap. Untuk menekankan sebuah ironi dalam puisi ini. Ironi tersebut dilanjutkan dengan gaya sedikit sarkasme yang digambarkan dari penggalan puisi selanjutnya seperti berikut :

"Orang-orang bergerombol menunggu aba-aba perampokan, penggarongan, penghancuran, huru-hara. Di sini jerit tangis memenuhi alun-alun: ayat-ayat suci sudah digondol maling."

Pada dasarnya, penulis menggunakan hiperbola sebagai dasar sarana retorika, melebih-lebihkan apa yang terjadi, hal itu dibungkus juga dengan menjelaskan ironi dalam penggalan puisi di atas. Bagaimana orang-orang digambarkan bergerombol menunggu aba-aba perampokan, penggarongan, penghancuran, huru-hara. 

Selain hiperbola tentang kekacauan yang pada dasarnya ada dalam dimensi mental manusia, penggambaran kekacauan itu menciptakan ironi, yang diperkuat dengan sarkasme dalam kalimat selanjutnya 

Di sini jerit tangis memenuhi alun-alun: ayat-ayat suci sudah digondol maling. Ini merupakan sindiran betapa ayat-ayat suci yang harusnya menjadi penenang batin, dinarasikan digondol maling. Ironinya, padahal ayat-ayat suci tersebut sedang amat dibutuhkan demi memperbaiki kekacauan yang digambarkan sebelumnya. 

Kekacauan-kekacauan ini, terdapat dalam gambaran-gambaran yang dideskripsikan oleh penulis adalah hiperbola dari kekacauan dimensi tatanan sosial dalam masyarakat. Kemudian penggunaan sarkasme dilanjutkan dalam penggalan berikut :

"Tak remah-remah pun tersisa. Juga tikus, kucing, kadal, dan segala binatang berkaki empat maupun dua, mengais-ais."

Sindiran ketidakberadaan ayat-ayat suci yang digondol maling tadi, dilanjutkan dengan penggalan di atas, bagaimana digambarkan bahwa remah-remah dari ayat-ayat suci itu tak tersisa. Bahkan seolah-olah keadaan itu dihiperbolakan dengan  Juga tikus, kucing, kadal, dan segala binatang berkaki empat maupun dua, mengais-ais. Seakan-akan semua binatang ikut mengais tapi ironinya tak menemukan ayat-ayat suci tersebut.

Dalam bait selanjutnya, digunakan kalimat imperatif berupa permintaan. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat ironi yang berusaha digunakan oleh penulis sebagai sarana retorika.

"O, tolonglah berbagi sedikit, teteskan ayat suci yang kamu dapat, untuk haus kami, lapar kami, derita kami."

Bila kita cermati penggalan puisi di atas, terlihat bahwa, penulis juga menggunakan sarkasme sebagai sindiran, tergambar dari  O, tolonglah berbagi sedikit, permintaan dalam kalimat tersebut sebagai sudut pandang yang mewakili penderitaan rakyat yang telah kacau balau. Sindiran tersebut seakan-akan menyindir para pengguna ayat suci barangkali yang disebut sebagai pedagang dalam bait sebelumnya,  yang memperdagangkan ayat-ayat sucinya sindiran sangat terasa  dalam teteskan ayat suci yang kamu dapat untuk haus kami, lapar kami, derita kami. Ini sebuah sindiran seakan-akan ingin memaksudkan sebuah pertanyaan, "apakah dengan ayat suci itu, penderitaan rakyat berupa haus kami, lapar kami, derita kami dapat terselesaikan?" sarkasme kembali dilanjutkan dalam penggalan puisi berikut :

"Apa urusanku dengan hausmu, laparmu, dan penderitaanmu?"

Kalimat interogatif di atas merupakan sarkasme pada sudut pandang orang-orang yang menjual ayat suci. Seolah dalam kalimat tanya Apa urusanku penulis sedang menjelaskan bahwa orang yang menjual ayat-ayat suci itu tidak memiliki urusan / tidak peduli pada penderitaan dan kekacauan yang dirasakan rakyat banyak. Sarkasme juga ironi juga digunakan dalam penggalan berikut :

"Tuhan, ulurkan tanganMu. Para wisatawan meninggalkan ayat-ayat suci di bak sampah, meja restoran yang acak-acakan, wastafel yang krannya ngocor terus, di lapangan parkir yang lalu-lalang, melupakan ibunya, ayahnya, saudara-saudaranya, ngebut dengan mobil 150 km perjam, menuju entah-berantah."

Apa yang coba penulis maksudkan dalam penggalan puisi di atas? Tentu kita rasakan sedang menyindir seolah-olah ayat-ayat suci tidak berharga dan ditinggalkan begitu saja, pada tempat-tempat seperti  bak sampah, meja restoran yang acak-acakan, wastafel yang krannya ngocor terus, di lapangan parkir yang lalu-lalang sementara, ironinya, rakyat yang menderita memohon uluran tangan Tuhan dalam Tuhan, ulurkan tanganMu. 

Ironinya, ketidakpedulian orang-orang yang disebut dalam penggalan puisi ini, tergambar dalam penggunaan sarkasme pada kalimat  berikut melupakan ibunya, ayahnya, saudara-saudaranya, ngebut dengan mobil 150 km perjam, menuju entah-berantah.  Meski tidak secara langsung, namun dalam konteks  keterkaitan pada sarana retorika yang telah dijabarkan dari bait-bait sebelumnya, maka kita akan terasa sekali sindiran dalam penggalan kalimat dalam puisi di atas. Hal itu masih dilanjutkan penulis hingga akhir puisi.

"Di antara reruntuhan negara yang roboh, para pemulung, pengemis, gelandangan, preman, saling berbagi dan tukar tambah ayat-ayat suci dengan ramai, menyimpannya di bawah tikar bobrok yang menyelamatkan hidup mereka."

Dalam penggalan puisi di atas, penulis menggunakan hiperbola sebagai dasar utama sarana retorika dalam menggambarkan keadaan, sekaligus terasa pula sindiran digunakan dalam bentuk sarkasme. 

Bagaimana keadaan negara digambarkan secara berlebihan dalam  reruntuhan negara yang roboh dan penyebutan rakyat kecil dalam penggunaan sinekdoki totum pro parte disebutkan para pemulung, pengemis, gelandangan, preman, yang kemudian digambarkan secara sarkas  saling berbagi dan tukar tambah ayat-ayat suci dengan ramai, menyimpannya di bawah tikar bobrok yang menyelamatkan hidup mereka. 

Sekaligus terasa pula sebuah ironi bahwa rakyat dengan kesusahan hidupnya digambarkan mempergunakan ayat-ayat suci yang digambarkan secara sarkas dibagi dan ditukar tambah untuk kemudian menyimpannya di bawah tikar bobrok yang menyelamatkan hidup mereka.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun