Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Ayyubi
Muhammad Irfan Ayyubi Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Bapak dua anak yang percaya kalau ganti popok tengah malam itu lebih dramatis dari adegan sinetron. Rajin menulis di tengah chaosnya kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Membedah Penyiasatan Struktur/Sarana Retorika dan Permajasan Puisi Berburu Ayat-ayat Suci Karya Danarto

12 November 2021   14:07 Diperbarui: 12 November 2021   15:47 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekacauan-kekacauan ini, terdapat dalam gambaran-gambaran yang dideskripsikan oleh penulis adalah hiperbola dari kekacauan dimensi tatanan sosial dalam masyarakat. Kemudian penggunaan sarkasme dilanjutkan dalam penggalan berikut :

"Tak remah-remah pun tersisa. Juga tikus, kucing, kadal, dan segala binatang berkaki empat maupun dua, mengais-ais."

Sindiran ketidakberadaan ayat-ayat suci yang digondol maling tadi, dilanjutkan dengan penggalan di atas, bagaimana digambarkan bahwa remah-remah dari ayat-ayat suci itu tak tersisa. Bahkan seolah-olah keadaan itu dihiperbolakan dengan  Juga tikus, kucing, kadal, dan segala binatang berkaki empat maupun dua, mengais-ais. Seakan-akan semua binatang ikut mengais tapi ironinya tak menemukan ayat-ayat suci tersebut.

Dalam bait selanjutnya, digunakan kalimat imperatif berupa permintaan. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat ironi yang berusaha digunakan oleh penulis sebagai sarana retorika.

"O, tolonglah berbagi sedikit, teteskan ayat suci yang kamu dapat, untuk haus kami, lapar kami, derita kami."

Bila kita cermati penggalan puisi di atas, terlihat bahwa, penulis juga menggunakan sarkasme sebagai sindiran, tergambar dari  O, tolonglah berbagi sedikit, permintaan dalam kalimat tersebut sebagai sudut pandang yang mewakili penderitaan rakyat yang telah kacau balau. Sindiran tersebut seakan-akan menyindir para pengguna ayat suci barangkali yang disebut sebagai pedagang dalam bait sebelumnya,  yang memperdagangkan ayat-ayat sucinya sindiran sangat terasa  dalam teteskan ayat suci yang kamu dapat untuk haus kami, lapar kami, derita kami. Ini sebuah sindiran seakan-akan ingin memaksudkan sebuah pertanyaan, "apakah dengan ayat suci itu, penderitaan rakyat berupa haus kami, lapar kami, derita kami dapat terselesaikan?" sarkasme kembali dilanjutkan dalam penggalan puisi berikut :

"Apa urusanku dengan hausmu, laparmu, dan penderitaanmu?"

Kalimat interogatif di atas merupakan sarkasme pada sudut pandang orang-orang yang menjual ayat suci. Seolah dalam kalimat tanya Apa urusanku penulis sedang menjelaskan bahwa orang yang menjual ayat-ayat suci itu tidak memiliki urusan / tidak peduli pada penderitaan dan kekacauan yang dirasakan rakyat banyak. Sarkasme juga ironi juga digunakan dalam penggalan berikut :

"Tuhan, ulurkan tanganMu. Para wisatawan meninggalkan ayat-ayat suci di bak sampah, meja restoran yang acak-acakan, wastafel yang krannya ngocor terus, di lapangan parkir yang lalu-lalang, melupakan ibunya, ayahnya, saudara-saudaranya, ngebut dengan mobil 150 km perjam, menuju entah-berantah."

Apa yang coba penulis maksudkan dalam penggalan puisi di atas? Tentu kita rasakan sedang menyindir seolah-olah ayat-ayat suci tidak berharga dan ditinggalkan begitu saja, pada tempat-tempat seperti  bak sampah, meja restoran yang acak-acakan, wastafel yang krannya ngocor terus, di lapangan parkir yang lalu-lalang sementara, ironinya, rakyat yang menderita memohon uluran tangan Tuhan dalam Tuhan, ulurkan tanganMu. 

Ironinya, ketidakpedulian orang-orang yang disebut dalam penggalan puisi ini, tergambar dalam penggunaan sarkasme pada kalimat  berikut melupakan ibunya, ayahnya, saudara-saudaranya, ngebut dengan mobil 150 km perjam, menuju entah-berantah.  Meski tidak secara langsung, namun dalam konteks  keterkaitan pada sarana retorika yang telah dijabarkan dari bait-bait sebelumnya, maka kita akan terasa sekali sindiran dalam penggalan kalimat dalam puisi di atas. Hal itu masih dilanjutkan penulis hingga akhir puisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun