"Apa? Kamu pikir saya ini tidak bisa bangun sendiri?"
"Pak.."
"Kamu pikir saya ini butuh kamu? Kamu pikir saya ini nggak punya hape? Kamu pikir saya nggak mampu beli hape? Lihat ini, hape saya ini ipon sebelas! Kamu mampu memangnya beli hape ini? Cuih, dandanan kamu saja seperti gembel, lihat, saya ini bisa telepon teman saya, atau keluarga saya, untuk jemput, saya tidak butuh bantuan kamu!"
Pono tetap membantunya berdiri, meski sepanjang langkah dari tengah jalan sampai ke trotoar si bapak terus saja ngedumel. Pono melihat si bapak, nampaknya tidak terluka terlalu berat, hanya lecet di beberapa bagian tangan dan kaki. Diletakkannya botol air di samping si bapak sambil membuka kotak P3K.
"Minum dulu, Pak!"
"Apa itu? Saya alergi minum air putih, masak saya disuruh minum air putih, lihat, mana botolnya dekil begitu. Ndak higienis. Coba kamu minum dulu! Saya tidak percaya sama tampang seperti kamu! Barangkali ini modus perampokan baru ya? Kamu mau kasih air berisi bius ke saya, lalu mau ambil motor beserta dompet, dan hape saya. Ya kan? Ayoh! Ngaku!"
Pono segera mengambil botol itu, lalu meminumnya seteguk. Si bapak yang melihat Pono minum air di botol itu, langsung menyambar botolnya dan meminumnya sampai ludes. Pono mengambil alkohol dan kapas, mengarahkannya ke kaki si bapak,
"He! He! Kamu ini kurang ajar! Saya kan sudah bilang, saya tidak butuh bantuan kamu! Saya sedang telepon kawan atau keluarga saya untuk menjemput! Kamu tidak usah sok jadi repot begitu!"
Tapi sementara si bapak menelepon dan terus mengoceh, lalu nampak marah-marah, Pono tetap membersihkan luka-lukanya. Pono membuka betadin dan meneteskannya pada lecet-lecet di kakinya.
"Brengsek! Kawan semua kalau ada butuhnya saja datang atau telepon. Giliran temannya susah tidak ada yang peduli."
Pono hanya diam, mendengarkan dan terus mengobati lukanya, sementara si bapak terlihat berkali-kali mencoba menghubungi beberapa orang. Lalu terlihat sejenak telepon tersambung, entah pada siapa, ia berbicara agak berbisik, lalu berubah sekejap,