--
Hari demi hari berlalu, bisnis ceker Ujang makin sukses. Bahkan Dinda sering mampir untuk membantu Ujang membungkus ceker. Mereka jadi sering ngobrol, dan Ujang mulai merasa hidupnya berubah.
"Jang, kamu tahu nggak? Meski cekermu gosong, aku suka karena kamu jualan pakai hati," kata Dinda suatu sore.
Ujang tersipu. "Din, kalau bukan karena kamu, aku mungkin udah nyerah. Kamu bikin aku semangat."
Dinda tersenyum. "Kamu tahu, Jang, sebenarnya aku suka sama kamu sejak dulu."
Ucapan Dinda membuat Ujang hampir tersedak. "Suka? Serius, Din?"
Dinda mengangguk. "Iya, tapi kamu harus janji, jangan pernah berhenti berjuang. Hidup itu berat, tapi kalau kamu mau usaha, pasti ada jalan."
--
Seminggu kemudian, Ujang berhasil melunasi uang kontrakan. Ia bahkan punya cukup uang untuk membeli daster baru untuk Pak Untung---walau daster itu akhirnya ditolak mentah-mentah.
Kini, Ujang bukan hanya dikenal sebagai penjual ceker paling pedas di gang itu, tapi juga pemuda yang berjuang dengan nekat dan cinta.
Di balik tembok kontrakan yang sempit, Ujang menemukan semangat hidupnya kembali. Dan semuanya berawal dari ceker gosong.