Pada tahun 2003 hingga 2006, Dr. Sri Estuningsih, seorang dosen di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB), melakukan penelitian yang bersifat akademik tentang kontaminasi bakteri Enterobacter sakazakii (ES) dalam susu formula bayi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan bakteri ES dalam produk susu formula yang beredar di Indonesia.Â
Proses penelitian ini melibatkan pengambilan sampel dari berbagai merek susu formula dan pengujian laboratorium untuk mendeteksi keberadaan bakteri tersebut. Penelitian ini dilakukan secara independen oleh IPB tanpa campur tangan atau pengawasan dari Kementerian Kesehatan maupun BPOM, sesuai dengan prinsip kebebasan akademik dalam penelitian ilmiah.
  Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Sri Estuningsih menunjukkan bahwa lima dari 22 sampel susu formula bayi yang diuji mengandung bakteri Enterobacter sakazakii (ES). Temuan ini menimbulkan kekhawatiran serius karena bakteri ES diketahui dapat menyebabkan infeksi yang berpotensi fatal pada bayi, terutama pada bayi prematur atau dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah.Â
Hasil penelitian ini kemudian dipublikasikan melalui website IPB sebagai bagian dari transparansi akademik dan untuk memberikan informasi kepada publik serta komunitas ilmiah tentang potensi risiko kesehatan yang terkait dengan susu formula yang tercemar.
  Pengumuman hasil penelitian melalui website IPB pada akhirnya memicu reaksi yang luas di masyarakat. Temuan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang tua dan masyarakat umum mengenai keamanan produk susu formula yang beredar di pasaran.Â
Publik mulai mempertanyakan kualitas dan pengawasan terhadap produk susu formula yang mereka konsumsi. Isu ini dengan cepat menyebar melalui media, menyebabkan keresahan dan ketidakpercayaan terhadap produk susu formula yang ada.
 Ketika kasus susu formula tercemar bakteri Enterobacter sakazakii mencuat, masyarakat Indonesia dilanda keresahan yang mendalam. Temuan bahwa beberapa merek susu formula bayi mengandung bakteri berpotensi mematikan ini memicu kekhawatiran yang tersebar luas di kalangan orang tua dan keluarga.Â
Masyarakat menjadi khawatir tentang keamanan produk susu formula yang telah mereka konsumsi selama ini, terutama terkait dengan risiko kesehatan yang mungkin ditimbulkan bagi bayi mereka. Keterbukaan dan respons yang tepat dari pemerintah dan lembaga terkait sangat dinantikan untuk memberikan kepastian dan menjaga kepercayaan publik terhadap produk-produk makanan bayi yang beredar di pasaran.
  Tanggapan warga terhadap kasus susu formula tercemar bakteri Enterobacter sakazakii sangat bervariasi. Beberapa orang tua merasa cemas dan khawatir akan kesehatan bayi mereka, terutama jika mereka telah menggunakan susu formula yang diduga tercemar. Mereka menganggap temuan ini sebagai ancaman serius terhadap keselamatan dan kesehatan anak-anak mereka.Â
Di sisi lain, ada juga yang merasa kecewa dan frustrasi terhadap ketidakjelasan informasi yang diberikan oleh pemerintah dan lembaga terkait. Mereka mengkritik lambannya proses dalam memberikan kepastian terkait merek susu formula yang terlibat, serta mengeluhkan kurangnya transparansi dalam penanganan kasus ini.
  Sebagian masyarakat mengambil langkah pencegahan dengan menghentikan penggunaan susu formula dan beralih sepenuhnya memberikan ASI eksklusif kepada bayi mereka, sesuai anjuran Kementerian Kesehatan. Namun, ada juga yang tetap menggunakan susu formula dengan pertimbangan medis atau karena tidak memiliki alternatif lain yang memadai.
  Secara umum, kasus ini telah memicu diskusi luas tentang perlindungan konsumen, pengawasan produk makanan bayi, serta pentingnya transparansi dan keamanan pangan. Masyarakat mengharapkan langkah konkret dari pemerintah dan lembaga terkait untuk memastikan keamanan produk makanan yang beredar di pasaran dan melindungi kesehatan generasi masa depan.
  Menanggapi keresahan masyarakat, Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) segera mengambil langkah untuk memastikan keamanan produk susu formula yang beredar. BPOM melakukan pengujian independen terhadap sampel susu formula dari berbagai merek yang beredar di pasaran.Â
Pengujian dilakukan secara berkala sejak tahun 2008 hingga awal 2011. Hasil dari pengujian tersebut menunjukkan bahwa tidak ditemukan bakteri Enterobacter sakazakii dalam sampel yang diuji. Pemerintah melalui BPOM juga terus melakukan sampling dan pengujian untuk menjamin bahwa makanan yang memiliki izin edar aman dikonsumsi oleh masyarakat.
  Kasus ini kemudian menjadi perhatian serius di tingkat legislatif, dengan Komisi IX DPR mengadakan beberapa rapat kerja untuk membahas masalah ini. Rapat kerja pertama diadakan pada tanggal 17 Februari 2011, diikuti dengan rapat kedua pada tanggal 23 Februari 2011.Â
Dalam rapat tersebut, DPR meminta klarifikasi dan tindakan dari Kementerian Kesehatan, BPOM, dan IPB. Para anggota DPR mendesak agar informasi mengenai merek susu formula yang tercemar diumumkan kepada publik untuk menghindari konsumsi produk yang berpotensi berbahaya.Â
Namun, permintaan ini tidak dapat dipenuhi oleh Kementerian Kesehatan dan IPB, yang menyatakan tidak memiliki data yang lengkap dan terikat oleh etika penelitian.
  Salah satu isu utama dalam rapat kerja DPR adalah desakan agar IPB dan Kementerian Kesehatan mengumumkan merek susu formula yang tercemar. Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa mereka tidak memiliki informasi lengkap mengenai merek yang tercemar karena penelitian dilakukan secara independen oleh IPB.Â
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, I Wayan Teguh Wibawan, menegaskan bahwa IPB tidak dapat mengumumkan merek susu formula yang tercemar karena penelitian tersebut bersifat akademik dan belum menerima salinan asli putusan kasasi dari Mahkamah Agung. Anggota DPR menilai bahwa IPB dan Kementerian Kesehatan tidak transparan dan ada indikasi melindungi produsen susu formula.
  Menteri Kesehatan, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, menyatakan bahwa susu formula yang beredar di pasaran aman berdasarkan hasil pengujian BPOM. Beliau menegaskan bahwa tidak ada bukti keberadaan bakteri Enterobacter sakazakii dalam susu formula yang diuji sejak 2008.Â
Meskipun demikian, masyarakat tetap merasa khawatir dan mendesak untuk mengetahui merek susu yang tercemar. Kementerian Kesehatan menganjurkan pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif sebagai pilihan terbaik untuk bayi hingga usia enam bulan dan menyarankan penggunaan susu formula hanya dalam kondisi medis tertentu.
  Mahkamah Agung kemudian mmerintahkan agar merek susu formula yang tercemar diumumkan kepada publik. Namun, IPB menyatakan belum bisa mengumumkan merek tersebut karena belum menerima salinan asli putusan kasasi dari Mahkamah Agung.Â
Selain itu, IPB terikat oleh etika penelitian yang mengharuskan kerahasiaan informasi tertentu. Hal ini menempatkan IPB dalam posisi dilematis, antara mengikuti perintah hukum dan menjaga integritas etika akademik.
  Kementerian Kesehatan dan BPOM mempertimbangkan untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung. Sementara itu, DPR mempertimbangkan langkah-langkah lebih lanjut, termasuk pembentukan Panitia Kerja (Panja), Panitia Khusus (Pansus), atau penggunaan hak angket untuk menginvestigasi lebih dalam kasus ini.Â
Langkah hukum lanjutan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan transparansi dalam penanganan kasus ini, serta untuk menjamin keamanan produk susu formula di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H