Selain itu, perselingkuhan juga dapat memengaruhi proses perceraian secara keseluruhan. Perselingkuhan dapat meningkatkan ketegangan dan emosi dalam proses perceraian, serta memperpanjang durasi proses perceraian. Hal ini dapat mengakibatkan biaya yang lebih tinggi, yang kemudian akan memengaruhi jumlah harta yang tersisa setelah perceraian.
Selain dampak langsung pada pembagian harta gono gini, perselingkuhan juga dapat memberikan dampak jangka panjang pada pasangan yang terlibat dalam perceraian. Dalam kasus di mana pasangan memiliki anak, perselingkuhan dapat memengaruhi kesejahteraan anak dan memberikan dampak jangka panjang pada hubungan antara anak dan orang tua mereka.
Oleh karena itu, sangat penting untuk berbicara secara terbuka dan jujur tentang perselingkuhan saat mempertimbangkan proses perceraian. Keterbukaan ini dapat membantu mempercepat proses perceraian dan memungkinkan pasangan untuk bergerak maju dengan cara yang lebih positif.
Maraknya perselingkuhan dewasa ini di Indonesia tentunya membuat para wanita was-was. Pasalnya ketika mereka menggugat cerai maka harta yang didapat sepanjang pernikahan atau yang dikenal dengan harta gono gini harus di bagi dua, yaitu bagian menjadi hak istri dan bagian hak suami, tanpa melihat harta tersebut bersumber dari mana, dan tanpa mempertimbangkan hak-hak anak.
Undang-undang perkawinan mengatur harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta gono gini. Sedangkan harta bawaan dari suami istri masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Jadi, menurut Undang-undang perkawinan, harta terbagi menjadi 2 yaitu, (i) harta bersama atau harta gono gini, yaitu harta yang diperoleh selama pernikahan baik yang dihasilkan oleh si suami maupun si istri; dan (ii) harta bawaan yaitu harta yang dimiliki sebelum pernikahan atau yang diperoleh setelah pernikahan yang berasal dari warisan, hibah atau hadiah.
Dari keterangan tersebut cukup jelas bahwa harta bersama tidak melihat dari mana harta itu berasal atau dari pengasilan siapa. Ketika sudah terikat dalam pernikahan maka penghasilan dari siapapun merupakan harta bersama.Â
Kita tidak bisa menutup mata bahwa satu fenomena yang terjadi saat ini ketika wanita lebih banyak menjadi tulang punggung keluarga, atau berpenghasilan lebih tinggi dari pria. Kondisi ini mungkin tidak masalah ketika kedua pasangan tengah baik-baik saja. Namun ketika ketika si pria melakukan kesalahan dengan perselingkuhan dan istri menggugat cerai, maka istri hanya mendapatkan hak nya bagian dari harta bersama, meskipun pada kenyataannya sang istrilah yang lebih berperan dalam ekonomi rumah Tangga.
Dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974 mengatur mengenai perjanjian kawin yang dapat dibuat oleh calon pasangan suami istri yang berisi pengaturan tentang harta kekayaan. Perjanjian kawin tersebut dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak dan berlaku sejak perjanjian tersebut dilangsukan. Hal tersebut ternyata bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi, UUD 1945 Pasal 28 ayat 2 (E) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat. Sementara UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 29 (4) menyatakan bahwa selama ikatan perkawinan perjanjian dapat diubah dengan persetujuan kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga.
Atas dasar perbedaan di atas, Mahkamah Konstitusi RI mengajukan uji materil atas Pasal 29 (1) UU Perkawinan. Lewat putusan MK No.69/PUU-XII/2016 "Perjanjian kawin dapat dibuat sebelum perkawinan, saat perkawinan dan setelah perkawinan."
Atas putusan tersebut, wanita/pria dapat melindungi hak-hak nya, apabila di tengah perkawinan terdapat indikasi tidak baik dari pasangan sebelum perpisahan terjadi maka ada baiknya membuat perjanjian kawin, sehingga tidak perlu lagi ribut-ribut soal harta bersama dan merasa terzolimi.