Mohon tunggu...
Ayu KomalaDewi
Ayu KomalaDewi Mohon Tunggu... Notaris - Notaris

Belajar seumur hidup

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perjanjian Kawin Pasca Putusan MK: Jurus Jitu untuk Melindungi Hak-Hak Wanita

18 Februari 2023   09:35 Diperbarui: 18 Februari 2023   09:37 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ayu Komala Dewi, Mahasiswa Magister Kenotarian, Universitas Pancasila (2023)

Pendahuluan

Pernikahan adalah sebuah ikatan yang sakral di Indonesia, dimana pasangan saling berkomitmen untuk saling mengasihi dan mendukung satu sama lain sepanjang hidup. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang perkawinan di Indonesia yang berisi ketentuan tentang persyaratan, prosedur, dan hukum yang terkait dengan perkawinan di Indonesia.

Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam undang-undang ini, istilah "keluarga" didefinisikan sebagai suami, istri, dan anak-anak mereka.

Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan menegaskan bahwa perkawinan adalah suci dan harus dihormati oleh semua orang. Pasal ini menekankan pentingnya kesetiaan dan keterbukaan dalam perkawinan, serta menegaskan bahwa keluarga harus didirikan atas dasar cinta, kasih sayang, dan rasa saling menghargai antara suami dan istri.

Undang-Undang Perkawinan juga menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh pasangan yang akan menikah. Pasal 7 menyatakan bahwa pasangan yang ingin menikah harus memiliki usia yang cukup, yaitu minimal 19 tahun untuk pria dan minimal 16 tahun untuk wanita. Namun, pasangan yang berusia di bawah batas usia tersebut dapat menikah jika mendapat izin dari orang tua atau wali mereka.

Selain itu, pasangan yang ingin menikah juga harus memenuhi persyaratan administratif seperti surat keterangan tidak ada halangan untuk menikah, akta kelahiran, dan surat izin dari atasan jika calon suami atau istri adalah seorang anggota militer atau polisi.

Semua persyaratan ini dimaksudkan agar pasangan yang menikah telah memiliki kesiapan fisik dan mental untuk melangkah ke babak baru kehidupan mereka. Dengan demikian, mereka telah sanggup berkomitmen dan melaskanakan tanggungjawabnya di dalam keluarga, serta dapat menangani setiap cobaan yang mungkin datang di kemudian hari, termasuk adanya perceraian.

Perceraian dan Harta Gono Gini

Ketika pasangan memutuskan untuk bercerai, masalah pembagian harta selalu menjadi salah satu topik yang paling rumit dan kontroversial. Di Indonesia, harta gono gini adalah sistem pembagian harta yang digunakan untuk membagi harta antara pasangan yang bercerai.

Pembagian harta gono gini adalah istilah hukum yang merujuk pada pembagian harta yang diperoleh selama perkawinan antara suami dan istri. Artinya, semua harta yang diperoleh selama pernikahan menjadi milik bersama, termasuk harta benda, uang, investasi, dan aset lainnya. Namun, harta yang dimiliki oleh masing-masing pasangan sebelum pernikahan masih tetap menjadi milik pribadi masing-masing pasangan.

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta gono gini hanya berlaku jika pasangan tidak membuat perjanjian pemisahan harta atau perjanjian pranikah. Jika pasangan membuat perjanjian pemisahan harta atau perjanjian pranikah sebelum menikah, maka harta yang dimiliki oleh masing-masing pasangan tetap menjadi milik pribadi masing-masing pasangan.

Dalam pembagian harta gono gini, harta bersama yang diperoleh selama pernikahan akan dibagi secara merata antara suami dan istri. Namun, pembagian harta tidak selalu sama persis, karena hal ini tergantung pada keputusan hakim dan keadaan masing-masing pasangan. Misalnya, jika salah satu pasangan memberikan kontribusi yang lebih besar dalam memperoleh harta bersama, maka hakim dapat memutuskan bahwa pasangan tersebut berhak atas pembagian yang lebih besar.

Selain itu, dalam pembagian harta gono gini, hakim juga mempertimbangkan kepentingan anak yang dihasilkan dari pernikahan. Jika anak masih di bawah umur, maka hakim dapat memutuskan bahwa aset yang diperoleh dari pernikahan akan dijadikan milik bersama untuk kepentingan anak.

Secara keseluruhan, pembagian harta gono gini dapat menjadi masalah yang kompleks dan sulit diatur. Oleh karena itu, penting bagi pasangan yang akan menikah untuk membuat perjanjian pranikah atau perjanjian pemisahan harta sebelum menikah agar masalah pembagian harta dapat dihindari di kemudian hari.

Undang-Undang Perkawinan juga mengatur tentang pembagian harta gono-gini dalam perkawinan. Pasal 35 menyatakan bahwa selama perkawinan, harta yang diperoleh oleh suami atau istri menjadi harta bersama yang kemudian dibagi secara adil jika terjadi perceraian. Namun, jika salah satu pasangan berselingkuh, maka pasangan tersebut tidak berhak atas pembagian harta gono-gini.

Selain itu, Undang-Undang Perkawinan juga menegaskan bahwa perceraian harus dilakukan melalui proses yang adil dan objektif. Pasal 39 menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan oleh pengadilan setelah mempertimbangkan dengan seksama kepentingan anak, suami, dan istri.

Dalam konteks keberagaman Indonesia, Undang-Undang Perkawinan juga mengakui adat istiadat dalam perkawinan. Pasal 3 menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan menurut adat istiadat daerah yang diakui oleh negara dianggap sah dan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan perkawinan yang dilakukan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Perceraian karena Perselingkuhan

Perselingkuhan seringkali menjadi salah satu faktor utama dalam keputusan pasangan untuk bercerai. Perselingkuhan dapat menimbulkan rusaknya kepercayaan, kekecewaan, dan bahkan rasa sakit yang mendalam bagi pasangan yang terlibat. Selain itu, perselingkuhan juga dapat mempengaruhi proses pembagian harta gono gini dalam perceraian.

Dalam hukum perkawinan Indonesia, perselingkuhan dapat menjadi faktor yang mempengaruhi pembagian harta gono gini. Menurut Pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, jika pasangan bercerai karena perselingkuhan, maka pasangan yang berselingkuh tersebut tidak berhak atas pembagian harta gono gini.

Namun, pasangan yang tidak berselingkuh dapat memperoleh pembagian yang adil dari harta bersama yang diperoleh selama perkawinan. Hal ini dapat menjadi sangat rumit jika pasangan memiliki banyak aset atau harta yang diperoleh selama pernikahan.

Selain itu, perselingkuhan juga dapat memengaruhi proses perceraian secara keseluruhan. Perselingkuhan dapat meningkatkan ketegangan dan emosi dalam proses perceraian, serta memperpanjang durasi proses perceraian. Hal ini dapat mengakibatkan biaya yang lebih tinggi, yang kemudian akan memengaruhi jumlah harta yang tersisa setelah perceraian.

Selain dampak langsung pada pembagian harta gono gini, perselingkuhan juga dapat memberikan dampak jangka panjang pada pasangan yang terlibat dalam perceraian. Dalam kasus di mana pasangan memiliki anak, perselingkuhan dapat memengaruhi kesejahteraan anak dan memberikan dampak jangka panjang pada hubungan antara anak dan orang tua mereka.

Oleh karena itu, sangat penting untuk berbicara secara terbuka dan jujur tentang perselingkuhan saat mempertimbangkan proses perceraian. Keterbukaan ini dapat membantu mempercepat proses perceraian dan memungkinkan pasangan untuk bergerak maju dengan cara yang lebih positif.

Maraknya perselingkuhan dewasa ini di Indonesia tentunya membuat para wanita was-was. Pasalnya ketika mereka menggugat cerai maka harta yang didapat sepanjang pernikahan atau yang dikenal dengan harta gono gini harus di bagi dua, yaitu bagian menjadi hak istri dan bagian hak suami, tanpa melihat harta tersebut bersumber dari mana, dan tanpa mempertimbangkan hak-hak anak.

Undang-undang perkawinan mengatur harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta gono gini. Sedangkan harta bawaan dari suami istri masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Jadi, menurut Undang-undang perkawinan, harta terbagi menjadi 2 yaitu, (i) harta bersama atau harta gono gini, yaitu harta yang diperoleh selama pernikahan baik yang dihasilkan oleh si suami maupun si istri; dan (ii) harta bawaan yaitu harta yang dimiliki sebelum pernikahan atau yang diperoleh setelah pernikahan yang berasal dari warisan, hibah atau hadiah.

Dari keterangan tersebut cukup jelas bahwa harta bersama tidak melihat dari mana harta itu berasal atau dari pengasilan siapa. Ketika sudah terikat dalam pernikahan maka penghasilan dari siapapun merupakan harta bersama. 

Kita tidak bisa menutup mata bahwa satu fenomena yang terjadi saat ini ketika wanita lebih banyak menjadi tulang punggung keluarga, atau berpenghasilan lebih tinggi dari pria. Kondisi ini mungkin tidak masalah ketika kedua pasangan tengah baik-baik saja. Namun ketika ketika si pria melakukan kesalahan dengan perselingkuhan dan istri menggugat cerai, maka istri hanya mendapatkan hak nya bagian dari harta bersama, meskipun pada kenyataannya sang istrilah yang lebih berperan dalam ekonomi rumah Tangga.

Dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974 mengatur mengenai perjanjian kawin yang dapat dibuat oleh calon pasangan suami istri yang berisi pengaturan tentang harta kekayaan. Perjanjian kawin tersebut dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak dan berlaku sejak perjanjian tersebut dilangsukan. Hal tersebut ternyata bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi, UUD 1945 Pasal 28 ayat 2 (E) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat. Sementara UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 29 (4) menyatakan bahwa selama ikatan perkawinan perjanjian dapat diubah dengan persetujuan kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga.

Atas dasar perbedaan di atas, Mahkamah Konstitusi RI mengajukan uji materil atas Pasal 29 (1) UU Perkawinan. Lewat putusan MK No.69/PUU-XII/2016 "Perjanjian kawin dapat dibuat sebelum perkawinan, saat perkawinan dan setelah perkawinan."

Atas putusan tersebut, wanita/pria dapat melindungi hak-hak nya, apabila di tengah perkawinan terdapat indikasi tidak baik dari pasangan sebelum perpisahan terjadi maka ada baiknya membuat perjanjian kawin, sehingga tidak perlu lagi ribut-ribut soal harta bersama dan merasa terzolimi.

Daftar Pustaka:

Undang-Undang No.1 Tahun 1974

Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun