Perkawinan ialah perjanjian suci yang membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, Perkawinan merupa- kan peristiwa penting dalam kehidupan bersama antara sesama manu- sia yang berlainan jenis untuk mewujudkan kesatuan rumah tangga. Perkawinan tidak hanya didasarkan pada kebutuhan biologis antara pria dan wanita yang diakui secara sah, melainkan juga didasarkan pada proses kehidupan manusia. Demikian pula perkawinan terlaksana karena religiositas, artinya aspek-aspek keagamaan menjadi dasar pokok dalam kehidupan rumah tangga. Adapun dasar-dasar perkawinan berpangkal pada tiga keutuhan yang perlu dimiliki setiap orang yang akan menikah, yakni iman, Islam, dan ikhlas.
Dalam hukum perkawinan Islam, terdapat unsur pokok yang bersi- fat kejiwaan dan kerohanian yang meliputi kehidupan lahir batin, kema- nusiaan, dan kebenaran. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan aspeknya dikandung dalam kata "nikah" atau "tazwij" dan merupakan ucapan seremonial yang sakral.
Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang. Perkawinan bukan saja erjadi di kalangan manusia, melainkan juga pada tumbuhan dan hewan Oleh karena itu, manusia disebut sebagai hewan yang berakal jadi perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan dan mengikat perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat sederhana, budaya perkawinannya pun sederhana, sempit, dan tertutup. Sebaliknya dalam masyarakat modern, budaya perkawi nannya pun maju, luas, dan terbuka.
Dari segi disiplin perkawinan sudah ada sejak adanya misa rakaat sederhana yang diselenggarakan oleh warga masyarakat dan tokoh masyarakat adat dan atau tokoh agama. Aturan dan ketertiban yang telah dibuat kemudian terus berkembang dalam kode sosial yang mempunyai kekuasaan pemerintahan di suatu negara. Misalnya di Indonesia, tata tertib perkawinan sudah ada sejak zaman dahulu kala, zaman Sriwijaya, Majapahit, masa penjajahan Belanda, hingga Indonesia merdeka. Bahkan, aturan perkawinan tidak hanya berlaku bagi warga negara Indonesia saja, namun juga warga negara asing karena semakin meningkatnya sosialisasi kepada masyarakat Indonesia.
Pengertian Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan disebutkan dalam literatur fiqh Arab dengan dua kata, yaitu "nikah" dan "zawaj". Kedua kata tersebut diguna- kan dalam kehidupan sehari-hari orang Arab serta banyak ditemukan dalam Al-Quran dan Hadis Nabi (Amir Syarifuddin, 2006: 35). Hukum Islam menetapkan bahwa perkawinan harus dibuat dengan perjan- jian atau ikatan hukum di antara para pihak dan harus dihadiri dua orang saksi laki-laki. Perkawinan menurut Islam adalah akad suci yang kuat dan teguh antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama membentuk keluarga yang kekal, beradab, penuh kasih sayang, damai, bahagia, dan abadi.
Menurut para ahli, salah satunya Soedharyo Saimin (2002: 6) mengatakan bahwa perkawinan adalah akad antara dua orang. Dalam hal ini, akad antara seorang pria dan wanita tujuan materilnya adalah untuk mewujudkan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal Sementara Ali Afandi mengatakan bahwa pernikahan adalah kontrak keluarga. Akad keluarga yang dimaksud bukanlah akad biasa, melainkan memiliki ciri-ciri tertentu (Ali Afandi, 1983: 9).
Dasar Hukum Perkawinan
Sebagian besar ulama (jumhur), termasuk Imam Syafi'i menyatakan bahwa hukum Islam pernikahan adalah sunnah. Tidak seperti kebanyakan ulama, al-Zhahiri berpendapat bahwa hukum asli pernikahan itu mengikat. Dengan demikian, dapat diamati bahwa hukum perkawinan Islam bervariasi menurut alasannya. Oleh karena itu, para ulama telah mengelompokkan hukum perkawinan menjadi lima.
a. Wajib, bagi seseorang yang sudah cukup umur, mempunyai kemampuan memberi nafkah, dan khawatir tidak mampu menahan nafsu atau takut terjerumus ke dalam perzinaan.
b. Sunnah, bagi seseorang yang mempunyai kemampuan memberi nafkah dan berkeinginan melangsungkan perkawinan meskipun mampu menahan nafsu dan tidak takut akan terjerumus ke
dalam perzinaan. Haram, bagi seseorang yang mempunyai maksud menyakiti hati suami/istri dan menyia-nyiakannya. C.
d. Mubah, bagi seseorang yang belum mampu memberi nafkah, sedangkan dirinya tidak mampu menahan nafsu dan khawatir terjatuh pada perbuatan zina.
e. Makruh, bagi seseorang yang belum sanggup memberikan nafkah, sedangkan ia mampu menahan nafsu yang mengarah pada perbuatan zina
Tujuan Perkawinan
tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasar- kan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam Bab II tentang Dasar-Dasar Perkawinan Pasal 3, tujuan perkawi- nan adalah mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Secara redaksi, tujuan tersebut memang berbeda, tetapi kedua- nya sama-sama ingin memasukkan unsur-unsur tujuan perkawinan yang lebih banyak.
Pernikahan adalah perintah agama dan setiap perintah agama adalah bagian dari ibadah kepada Sang Pencipta. Dalam hal ini, Al-Quran terlebih dahulu telah mengulas beberapa tujuan perkawinan yang dapat dirangkum sebagaimana berikut.
1. Untuk membentuk kehidupan keluarga yang sakinah.
Anjuran menikah dan membentuk keluarga yang sakinah, mawad- dah, dan rahmah termaktub dalam QS ar-Ruum [30]: 21.
2 . Untuk menjaga diri dari perbuatan zina.
Dalam menjalani kehidupan, banyak perbuatan mengerikan, lebih khusus perbuatan zina yang mampu menjatuhkan seseorang ke lobang dosa. Salah satu perbuatan zina yang marak di kalangan remaja ataupun dewasa pada zaman ini adalah pergaulan bebas. Oleh karenanya, bagi seseorang yang telah mampu secara fisik, mental, dan psikisnya dianjurkan untuk menikah agar terjaga dari perbuatan zina.
3. Untuk menciptakan rasa kasih sayang.
Rasa kasih sayang akan tumbuh di antara dua orang yang terikat dengan perkawinan. Munculnya rasa kasih sayang ini merupakan salah satu tujuan perkawinan yang telah diridhai Allah Swt. Tujuan ini terungkap secara jelas dalam QS ar-Rum [30]: 21
4. Untuk melaksanakan ibadah Perkawinan adalah ibadah.
Perkawinan merupakan salah satu upaya mengingat Allah Swt. Adanya tujuan perkawinan ini didasarkan pada QS adz-Dzariyat [51]: 49 Dalam hadis lain, sabda Nabi Muhammad saw. yang diriwayat- kan oleh Ibnu Majah dari Aisyah r.a. mengisahkan bahwa "nikah adalah sebagian dari sunahku, barangsiapa yang tidak mau melak- sanakan sunahku, ia bukan golonganku".
5. Untuk pemenuhan kebutuhan seksual.
Tujuan lain perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi fitrah manusia dalam hal pemuasan seksual. Untuk memenuhi kebutu- han ini, seorang pria dan wanita harus mematuhi hukum syariah yakni dengan melangsungkan perkawinan. Dengan begitu, apa yang diharamkan baginya akan menjadi halal dalam pandangan agama. Anjuran pemenuhan kebutuhan seksual dalam hubungan rumah tangga secara implisit disebutkan dalam QS al-Baqarah [2]: 187.
Pengesahan Perkawinan (Itsbat Nikah)
Pengesahan perkawinan merupakan perkara voluntair dalam kewena- ngan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah. Perkara ini lebih dike- nal dengan sebutan itsbat nikah. Jenis perkara ini hanya terdiri atas pihak pemohon, artinya tidak ada pihak lawan dan tidak ada sengketa. Dalam kompetensi absolut Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah, undang-undang telah menunjuk beberapa kewenangan yang menyang- kut perkara tanpa sengketa (voluntair). Perkara yang dimaksud adalah sebagai berikut (H.M Anshary MK, 2009: 31).
1. Permohonan itsbat nikah (Penjelasan Pasal 49 ayat [2] huruf a angka 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).
2. Permohonan izin nikah (Pasal 6 ayat [5] Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
3. Permohonan dispensasi kawin (Pasal 7 ayat [2] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
4. Permohonan penetapan wali adhal (Pasal 23 ayat [2] KHI). 5. Permohonan penetapan ahli waris (Penjelasan Pasal 49 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006).
Â
Â
Â
Hikmah Perkawinan
Salah satu hikmah perkawinan adalah kelangsungan hidup manusia yang terus berlanjut dari generasi ke generasi. Perkawinan mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang percintaan menurut asas tolong-menolong dan berkewajiban melaksanakan tugas-tugas dalari rumah tangga, seperti mengurus rumah tangga, membesarkan anak, dan menciptakan suasana keluarga yang menyenangkan, baik untuk kebaikan dunia dan akhirat.
Menurut Ali Ahmad al-Jurjawi sebagaimana dikutip Abdul Rahman Ghozali bahwa hikmah perkawinan disebutkan sebagai berikut.
1. Melalui perkawinan, banyak pula keturunan. Dengan demikian, proses pemakmuran bumi yang dikerjakan bersama-sama akan berjalan dengan mudah.
2. Keadaan hidup manusia tidak akan tenteram kecuali keadaan rumah tangganya
tertib dan teratur.
3. Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memak- murkan dunia masing-masing dengan ciri khasnya berbuat dengan berbagai macam pekerjaan.
4. Sesuai tabiatnya, manusia cenderung mengasihi orang yang dikasihi. Adanya istri akan bisa menghilangkan kesedihan dan ketakutan. Dalam kehidupan rumah tangga, istri berperan sebagai teman suka dan duka serta penolong dalam mengatur kehidupan. Hal ini sebagaimana dikehendaki dalam firman Allah, QS al-A'raf [7]: 189.
.
... Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepada- nya..."
5. Manusia diciptakan dengan memiliki rasa ghirah (kecemburuan) untuk menjaga kehormatan dan kemuliaannya. Perkawinan akan menjaga pandangan yang penuh syahwat terhadap apa yang tidak dihalalkan untuknya.
6. Perkawinan akan memelihara keturunan. Di dalamnya terdapat banyak faedah, antara lain memelihara hak-hak dalam warisan.
7. Manusia jika telah mati terputuslah seluruh amal perbuatannya yang mendatangkan rahmat dan pahala kepadanya. Namun apabila manusia meninggalkan anak dan istri atau suami, mereka akan mendoakannya dengan kebaikan.
Jenis - jenis perkawinan
- Nikah Mut'ah
- Menurut Saebani nikah mut'ah adalah akad yang dilakukan oleh seorang laki -- laki hanya dengan memakai lafadz 'tamattu, istimta' atau semacamnya. Ada juga yang mengatakan bahwa nikah mutah adalah kawin kontrak yang berartikan perkawinan dengan jangka waktu tertenu dan tak tertentu, tanpa adanya saksi dan juga wali. Seluruh imam madzhab sepakat bahwa nikah mutah adalah perbuatan haram dan tidak terdapat sumber hukum nya dalam syariat islam.
- Nikah Muhallil
- Nikah muhalil menurut para ahli adalah menikahi perempuan yang sudah ditalak 3x sehabis masa iddahnya, kemudia sengaja menceraikan agar mantan suami nya dapat menikahinya lagi. Perbuatan ini adalah perbuatan dosa yang sangat besar yang sudah jelas dasarnya bukan karena niat pernikahan karena Allah Swt. Jika diteliti nikah muhalill ini memiliki unsur yang sama dengan nikah mutah yaitu memiliki pembatasan waktu tertentu dalam perkawinannya.
- Nikah Sirri
- Merupakan pernikahan yang dilakukan oleh kedua mempelai laki laki dan perempuan tanpa memberitahukan kepada orang tuanya yang berhak menjadi wali, atau melakukan pernikahan secara sembunyi atau diam-diam. Nikah jenis ini di Indonesia dikenal dengan pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat yang di tetapkan agama, namun tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), dampak daripada pernikahan tersebut adalah pernikahan tersebut tidak memiliki akta nikah jelas yang dikeluargakan oleh Agama.
- Nikah kontrak
- Disamakan dengan nikah muah karena dalam pernikahannya digunakan lafaz yang sama, yaitu adanya pembatasan waktu seperti lafaz "aku menikahimu untuk satu bulan". Perbedaan nikah kontrak dengan nikah mutah adalah dari sisi alasannya. Pada nikah kontrak tidak ada alasan keterpaksaan atau darurat. Adapun nikah mutah dilakukan dengan alasan darurat seperti sedang melakukan perja- lanan jauh atau sedang berperang. Hukum dari nikah kontrak ini yaitu haram dan akadnya batal.
- Perkawinan kontrak atau nikah mutah merupakan perkawinan yang tidak mewujudkan sebuah keluarga yang bahagia untuk selama-lamanya. Perkawinan ini dilakukan oleh kedua mempelai dengan jangka waktu yang ditentukan bersama oleh keduanya, serta tidak ada wali dan saksi dalam pernikahannya.
- Adapun anak yang dilahirkan dari pernikahan kontrak tersebut merupakan anak di luar nikah karena pernikahan yang dilakukan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Anak yang lahir tersebut tidak dapat menuntut apa pun dari ayahnya. Ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibu tersebut.
- Poliandri
- adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang perem- puan kepada lebih dari seorang laki-laki. Artinya, seorang perempuan memiliki suami lebih dari satu orang. Hukum dari pernikahan jenis ini yaitu haram. Menurut Musfir al-Jahrani, perkawinan poliandri adalah perkawinan seorang wanita pada waktu yang sama sehingga mempunyai suami lebih dari satu. Dalam hal ini, beberapa orang yang menyukai kelezatan biologis akan lebih menyukai bentuk ini (Musfir al-Jahrani, 1997: 32).
- Poliandri bukanlah perkawinan yang mudah dilaksanakan dan perlu pemikiran yang sangat matang dalam pelaksanaannya, bahkan diha- ramkan dalam hukum Islam. Namun, kenyataannya kasus perkawinan poliandri masih saja terjadi meskipun telah dilarang juga oleh undang- undang. Dalam Pasal 3 Ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 ditegaskan "Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suam".
- Perkawinan poliandri ini dilarang untuk menjaga kemurniaan ketu- runan agar tidak tidak bercampur aduk, serta untuk menjamin kepastian hukum seorang anak. Sejak dilahirkan-bahkan dalam keadaan tertentu walaupun masih dalam kandungan, anak tersebut telah berkedudukan sebagai pembawa hak sehingga perlu mendapat perlindungan dan kepas tian hukum. Menurut hukum waris Islam, seorang anak yang masih ada dalam kandungan dan akhirnya lahir dalam keadaan hidup akan berhak mendapat bagian penuh apabila ayahnya meninggal dunia, walaupun dia masih berupa janin dalam kandungan.
- Poligami
- Poligami adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada lebih dari satu orang wanita. Islam memperbolehkan seorang laki-laki untuk menikah lebih dari sekali, tetapi dengan syarat laki-laki tersebut dapat berlaku adil bagi semua istri-istrinya. Apabila dikhawatir- kan tidak dapat berlaku adil maka cukup dengan satu istri saja.
- Allah Swt. memberikan peluang untuk beristri sampai empat orang, peluang tersebut tetap disertai dengan syarat-syarat yang sebenarnya cukup berat untuk ditunaikan. Dibolehkannya poligami oleh-Nya disertai dengan ungkapan "Jika kamu takut atau cemas tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah satu perempuan saja"
- Jika kamu tidak yakin dapat berlaku adil cukupkanlah dengan istri satu saja. Namun, apabila kamu benar-benar yakin akan dapat berlaku adil, silakan menikahi perempuan dua atau tiga atau empat sebagai istrimu."
- Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat tersebut, sebenarnya poligami sudah ada dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Bagian penting dari ayat tersebut yaitu adanya pembatasan poligami sampai empat orang saja. Adapun keadilan yang dipersyaratkan dalam ayat terse- but adalah keadilan dalam hal-hal berikut :
- Adil dalam hal memberikan nafkah hidup mereka selain maka minum, pakaian, dan sebagainya.
- Adil dalam memberikan pakaian, rumah, atau tempat tinggal.
- Adil dalam hal waktu menggilir istri istri, masing-masing beberapa Adil dalamyang satu mendapatkan giliran satu malam maka suami juga harus menggilir istri lainnya juga satu malam.
- Adil dalam hal waktu bepergian bersama istri.
- Dalam Islam, pembatasan poligami dilakukan karena potensi risiko mudarat yang lebih besar daripada manfaatnya. Sebagai manusia yang selalu digoda oleh setan, tentu manusia dapat saja terpengaruh ke dalam sifat yang negatif. Sifat buruk yang dimiliki setan seperti cemburu, iri hati, serta suka mengeluh yang nantinya akan menjadi penyakit dalam kehidupan poligami. Tentu hal ini bukan tanpa contoh, mengingat ada beberapa contoh poligami pada zaman jahiliah yang memperlakukan istri tidak adil dan tidak manusiawi.
Pengertian PerceraianÂ
Perceraian adalah proses hukum yang mengakhiri resmi ikatan perkawinan antara dua individu. Hal ini dapat terjadi karena berbagai alasan, termasuk perbedaan yang tidak bisa didamaikan, ketidaksetiaan, atau masalah lainnya yang mengganggu keberlangsungan hubungan perkawinan. Prosedur perceraian bervariasi di seluruh dunia, tetapi umumnya melibatkan pengajuan permohonan cerai ke pengadilan, proses mediasi atau negosiasi antara pasangan, dan akhirnya pengesahan pengadilan untuk mengakhiri perkawinan.
Dalam proses perceraian, pasangan biasanya harus menyelesaikan berbagai masalah, termasuk pembagian harta bersama, hak asuh anak, dukungan finansial, dan lain-lain. Jika pasangan tidak dapat mencapai kesepakatan secara damai, pengadilan akan memutuskan atas perselisihan ini berdasarkan hukum yang berlaku dan kepentingan terbaik untuk semua pihak yang terlibat.
Perceraian dapat dilakukan baik secara damai, di mana pasangan sepakat untuk berpisah secara aman dan berunding mengenai masalah-masalah terkait, atau secara kontestasi, di mana pasangan tidak dapat mencapai kesepakatan dan memerlukan intervensi pengadilan untuk menyelesaikan perselisihan mereka. Prosedur perceraian biasanya melibatkan proses yang panjang dan kompleks, terutama ketika terdapat masalah yang disengketakan seperti hak asuh anak atau pembagian harta bersama.
Perceraian merupakan bagian penting dari sistem hukum dalam banyak negara, dan hukum yang mengatur perceraian sering kali mencerminkan nilai-nilai sosial, budaya, dan agama yang dominan dalam masyarakat tersebut. Meskipun perceraian dianggap sebagai pilihan terakhir dalam menjaga keutuhan sebuah keluarga, dalam beberapa kasus, itu dapat menjadi solusi terbaik untuk mengakhiri hubungan yang tidak sehat atau tidak berkelanjutan.Â
Macam -- Macam PerceraianÂ
1.Talaq: Talaq adalah bentuk perceraian di mana suami memberikan pernyataan talak kepada istrinya untuk mengakhiri perkawinan mereka. Talaq dapat dilakukan baik secara lisan maupun tertulis, dan dalam beberapa mazhab, tiga kali pernyataan talak secara berturut-turut dianggap sebagai perceraian yang tidak dapat dibatalkan kecuali jika istrinya menikah dengan suami lain dan kemudian bercerai darinya.
2.Khul': Khul' adalah bentuk perceraian di mana istri meminta untuk bercerai dari suaminya dengan memberikan imbalan finansial atau hak lainnya kepada suami sebagai ganti pembebasan dari perkawinan. Khul' memungkinkan istri untuk mengajukan perceraian tanpa persetujuan suami jika terdapat alasan yang sah, seperti ketidakcocokan atau perlakuan buruk.
3.Faskh: Faskh adalah bentuk perceraian di mana pengadilan Islam mengeluarkan putusan untuk mengakhiri perkawinan atas permintaan salah satu pasangan karena alasan tertentu, seperti ketidakmampuan suami untuk memenuhi kewajiban finansialnya atau perlakuan buruk yang berulang dari salah satu pasangan.
4.Ila: Ila adalah bentuk perceraian di mana suami menyatakan sumpah untuk menahan diri dari berhubungan intim dengan istrinya selama periode waktu yang ditentukan, biasanya lebih dari empat bulan. Jika suami tidak memenuhi sumpahnya, ini dapat dianggap sebagai alasan bagi istri untuk meminta perceraian.
5.Zihar: Zihar terjadi ketika suami membandingkan istrinya dengan anggota keluarganya yang lebih tua, seperti ibu atau saudara perempuan, dalam konteks yang merendahkan. Ini dianggap sebagai tindakan yang tidak pantas dan dapat menjadi dasar bagi istri untuk meminta perceraian.
6. Menurut Zahry Hamid, li'an dalam bahasa Arab adalah masdar dari kata laa'ana-yulaa' inu-mulaa, anatau-liaanan, berasal dari kata la'nen yang artinya "jauh" atau "kutukan"Menurut M. Hasballah Thaib, li'an adalah ucapan tertentu yang digunakan untuk menuduh istri yang telah melakukan perbuatan mengotori dirinya (berzina) sehingga menjadi alasan suami untuk menolak anak.
Suami melakukan li'an apabila telah menuduh berzina. Pembuktian tuduhan berat tersebut harus menggunakan empat orang saksi laki-laki. Menurut syara', li'an berarti mengutuk diri sendiri yang bisa dijadikan alasan bagi orang yang terpaksa menuduh istrinya berbuat zina dengan laki-laki lain
Perceraian dalam Islam dimaksudkan untuk menjadi langkah terakhir setelah upaya-upaya untuk memperbaiki hubungan telah dilakukan. Meskipun Islam mengakui hak-hak perempuan dalam perceraian, proses perceraian diatur dengan ketat oleh hukum Islam dan dipandu oleh prinsip-prinsip yang diambil dari Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Posisi Anak Dalam KeluargaÂ
Dalam Pasal 41 huruf a dan b dijelaskan bahwa nafkah merupakan kewajiban ayah, jika ayah tidak mampu maka ibu berkewajiban untuk memberi nafkah anak. Sebagai kewajiban bersama antara ayah dan ibu maka nafkah lampau terhadap anak tidak dapat dituntut oleh istri sebagai utang suami tidak ada nafkah madhiyah untuk anak.
Pemeliharaan anak pada dasarnya merupakan kepentingan anak untuk pertumbuhan jasmani, rohani, serta kecerdasan intelektual dan agamanya. Oleh karena itu, ibu lebih layak dan lebih berhak untuk memelihara anak di bawah usia 12 tahun. Pemeliharaan anak di bawah usia 12 tahun dapat dialihkan kepada ayahnya jika ibu dianggap tidak cakap, serta mengabaikan atau mempunyai perilaku buruk yang akan menghambat pertumbuhan anak.
Pengalihan pemeliharaan anak harus didasarkan pada putusan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah dengan mengajukan permohonan pencabutan kekuasaan orangtua jika anak tersebut telah ditetapkan di bawah asuhan istri. Selain oleh suami, pencabutan kekua- saan orangtua juga dapat diajukan oleh anak, keluarga dalam garis lurus ke atas, saudara kandung, dan pejabat yang berwenang (jaksa).
Berdasarkan Pasal 98 Ayat (1) KHI, disebutkan bahwa batasan anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun. Sepanjang anak tersebut tidak memiliki cacat fisik maupun mental, atau belum melangsungkan perkawinan. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa anak yang dapat diurus dan dipelihara adalah anak yang berusia di bawah 21 tahun.
Sementara itu, dalam Pasal 47 dan Pasal 50 UU No. 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtua atau walinya, selama kekuasaan orangtuanya tidak dicabut.
Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak atau adopsi adalah pengangkatan anak yang beraki- bat keluarnya anak angkat dari hubungan nasab ayah sendiri dan masuk dalam hubungan nasab ayah angkatnya. Dalam praktiknya, adopsi biasa- nya dilakukan orang yang dalam perkawinannya tidak menghasilkan keturunan. Dengan jalan adopsi, anak angkat mempunyai hubungan dengan ayah angkat seperti dengan ayah kandung sendiri. Terjadi hubungan waris mewarisi antara anak angkat dengan ayah angkat.
Praktik pengangkatan anak dikenal pada permulaan Islam. Nabi Muhammad saw. juga mempunyai anak angkat bernama Zaid anak Haritsah, kemudian dipanggil Zaid bin Muhammad. Setelah itu, Al-Qur'an membatalkan kebiasaan tersebut karena bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya, dalam waktu yang sama juga bertentangan dengan hati nurani kodrati manusia.
Hak anak angkat untuk mewarisi harta warisan ayah angkat sering berakibat terhalangnya hak waris keluarga asli dari ayah angkat. Hal ini sering menimbulkan rasa dengki keluarga asli ayah angkat terhadap anak angkat. Kerelaan orang melepaskan anak dari hubungan nasabnya berarti hilangnya rasa tanggung jawab orangtua terhadap anak.
Pengertian Keluarga Sakinah
Secara etimologis, keluarga dapat diartikan sebagai kerabat atau sanak saudara. Keluarga dapat diartikan sebagai unit terkecil dari masyarakat yang di dalamnya terdapat kepala rumah tangga dan beberapa orang lainnya hidup bersama di bawah satu atap dengan saling bergantung satu sama lain.
Dalam literatur Arab, keluarga distilahkan dengan al-ahl (jamaknya ahluna dan ahwal) yang memiliki arti famili, keluarga, dan kerabat. Adapun menurut al-Khalil, ahl artinya seseorang yang berarti istrinya. Istilah taahhul berarti menikah atau berkeluarga. Ahl juga berarti sese- orang yang paling istimewa dalam urusannya. Sebagaimana ahl albait yang berarti para penghuni rumah dan ahl al-Islam yang berarti setiap orang yang memeluk agama Islam.
Kata lain yang digunakan Al-Qur'an untuk mengacu pada arti keluarga yaitu al-asyir dan al-asyirah. Menurut al-Ragib, kata al-asyirah adalah keluarga seorang laki-laki yang mana mereka menambah jumlah komunitas mereka. Kata al-asyir dan al-asyirah juga berarti suku, teman, serta teman suami dan istri.
Memulai sebuah keluarga berarti memulai proses membangun fasilitas hidup yang minimal dengan ikatan interaksi yang kuat dengan suami, istri, anak-anak, dan kerabat terdekat. Adapun sakinah menurut arti bahasa adalah tenang atau tenteram. Jadi keluarga sakinah secara harfiah berarti keluarga yang tenang, damai, kurang konflik, dan mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dengan demikian, dapat disim pulkan bahwa keluarga sakinah merupakan keluarga bahagia atau kelu- arga penuh cinta (mawadah) dan kasih sayang (rahmat).
Â
Tujuan Keluarga SakinahÂ
Konsep keluarga sakinah tentunya memiliki tujuan. Adapun tujuan khusus membina keluarga sakinah yaitu sebagai berikut.
1. Menanamkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dalam kehidupan berkeluarga, bermas- yarakat, berbangsa, dan bernegara melalui pendidikan agama dalam keluarga, masyarakat, dan pendidikan formal.
2. Memberdayakan ekonomi umat melalui peningkatkan kemampuan ekonomi keluarga, kelompok keluarga sakinah, koperasi masjid, koperasi majelis taklim, dan upaya peningkatan ekonomi kerakyatan lainnya serta memobilisasi potensi zakat, infak, sedekah, wakaf, dan dana keagamaan lainnya.
3. Menurunkan tingkat perselisihan perkawinan dan perceraian, serta mengurangi jumlah keluarga bermasalah yang berkontribusi pada kerentanan sosial.
4. Membina dan membangun silsilah sakinah. Calon pasangan harus memiliki pengetahuan dan kemauan untuk memasuki tahap perkawinan secara lahir maupun batin. Mendorong remaja usia menikah bertujuan untuk menghindari pergaulan bebas, dekadensi moral, penyalahgunaan zat, perjudian, perkelahian, dan perilaku kriminal lainnya.
5. Meningkatkan pembinaan persalinan sehat dan pemberian makan masyarakat dengan cara membesarkan calon pengantin, ibu hamil dan menyusui, bayi, balita, serta anak usia sekolah dengan pendeka- tan religi.
6. Meningkatkan kesehatan keluarga, masyarakat, serta lingkungan melalui pendekatan agama.
7. Meningkatkan upaya penanggulangan penyakit menular seksual dan HIV/AIDS melalui pendekatan moral agama.
8. . Meningkatkan sikap hidup dan perilaku masyarakat tentang cara pandang terhadap pria dan wanita agar memiliki kesetaraan yang serasi, seimbang, dan berkesinambungan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H