Vonis kanker kelenjar tiroid (Pappiller Thyroid Carsinoma) dari dokter, kudengar bagai halilintar di siang bolong. Aku merasa tak berdaya. Bingung harus berbuat apa. Sungguh membuatku merasa terperosok.
Sedikitnya aku tahu tentang kelenjar tiroid ketika mengikuti mata kuliah Biologi Sel (Biosel) dan Biologi Kimia (Biokim). Kelenjar tiroid adalah kelenjar yang berbentuk kupu-kupu terletak pada bagian depan leher. Tiroid ini memiliki fungsi untuk memproduksi hormon tiroid terutama triiodithyronin (T3) dan thyroxine (T4) yang mengatur metabolisme tubuh, pertumbuhan, suhu tubuh, hingga denyut jantung pada manusia.
Usiaku baru 25 tahun, sebagai seorang laki-laki yang aktif dan selalu mobile ke manapun kaki melangkah. Pernah ku injak pulau Sumatra dengan perjalanan bus dan kunikmati aliran sungai Musi di Palembang; kunikmati petualangan di Ujungpandang alias Makassar dan Maros, Sulawesi Selatan, bersama kuliner-kulinernya; kusinggahi Kota Baubau di pulau Buton Sulawesi Tenggara; pernah juga ku kelilingi bumi Ambon dan Maluku dengan kapal laut selama 4 hari 4 malam dan menikmati keindahan Ambon juga menikmati kota Namlea di pulau Buru Maluku.
Juga terbiasa melakukan perjalanan Cirebon-Jakarta, Cirebon-Yogyakarta, dan keliling Kabupaten Cirebon hingga larut malam. Tidak kenal waktu. Sebagai seorang yang aktif dan selalu siap berkeliling kemanapun dan seorang yang hoby nulis yang cukup lama menggeluti dunia tulis-menulis, dunia terbentang luas di hadapanku. Semuanya terasa menjadi sebuah pengalaman dan akan berakhir seiring dengan vonis dokter kepadaku.
Bersahabat dengan penyakitku membuat aku mudah lelah dan napasku pun mudah terasa berat karena benjolan di leher yang menghalangi saluran pernapasan ke paru-paru sehingga gampang kecapekan. Mudah lelah, mudah berkeringat, sering bersin dan batuk, kaki mudah terasa pegal dan tidak kuat berdiri lama. Sungguh terasa menjadi beban berat, namun semua harus ku jalani.
Namun aku selalu menyukai aktivitasku selama ini. Terutama aktivitas berorganisasi. Petualangan demi petualangan ku lakukan bersama organisasi. Berbagai keluhan yang mulai sering menyapa kuanggap hanyalah angin lalu. Aku anggap biasa saja dengan tenang, tepatnya menenangkan diri, untuk tidak berpikir negatif. Aku selalu memotivasi diri dengan berteriak dalam hati "Aku Pasti Sembuh".
Aku tak pernah menduga, perbedaan kondisi tubuh yang kualami, merupakan pertanda munculnya bahaya yang mengintai di balik ketidaktahuanku. Rasa mudah lelah, cepat mengantuk, mudah terserang flu dan batuk, semula kuanggap hal yang biasa saja. Seiring dengan itu benjolan di kedua sisi leher semakin membesar hingga ke bagian thorak atau dada. Awalnya ku anggap penyakit biasa. Aku obati dengan berbagai macam cara. Ada yang menyarankan dengan obat tradisional, obat herbal, dan lain-lain. Namun ternyata Allah SWT belum mengabulkan ikhtiarku itu. Mungkin cara terbaik adalah dengan pengobatan medis modern.
Titik Balik
Aku tak bisa berlama-lama larut dalam kebimbangan dan perasaan yang galau. Dukungan keluarga, baik dari orangtua dan kakak-kakakku tak kenal lelah berhasil meyakinkanku, bahwa aku bisa melewati saat ini dengan baik dan masih memiliki harapan untuk sembuh.
Begitu juga dukungan dari guru-guru dan rekan-rekanku, menjadi api yang selalu membangkitkan semangatku. Ini bukan akhir dari perjalanan hidupku, tapi merupakan titik balik. Segera setelah selesai urusan organisasiku, aku memberanikan cek upke dokter.
Inilah titik balik yang mengharuskanku berjuang sekuat tenaga. Titik balik di mana aku harus betul-betul mengisi hidupku dengan sebanyak-banyaknya manfaat bagi orang lain. Titik balik di mana aku harus lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta, Allah SWT.
Ya. Pada titik ini aku harus berjuang, untuk hidup lebih bermanfaat dari sebelumnya.
Menikmati Proses
Perjuangan melawan kanker tiroid ini jelas bukan jalan yang mudah untuk ditempuh. Teramat besar pengorbanan yang harus aku lalui, namun aku harus terus semangat untuk sembuh.
Kebetulan di desaku ada seorang mantri yang bekerja di Rumah Sakit (RS) khusus bedah di Majalengka. Aku pun berkonsultasi ke beliau. Setelah melihat benjolan di leher dan dadaku, beliau menduga aku terkena kelainan kelenjar tiroid. Beliau menyarankan agar aku melakukan pemeriksaan ke dokter bedah di RS. Awalnya aku tak mau memeriksakan diri ke dokter bedah. Namun atas dorongan keluarga, guru-guru, dan rekan-rekanku akupun memberanikan diri.
Karena keterbatasan alat-alat medis di RS bedah tersebut, aku harus melakukan serangkaian tes di laboratorium swasta. Aku dirujuk ke salah satu Lab di Cirebon. Karena tidak bisa pakai BPJS maka aku harus merogoh isi dompet dengan cukup mahal untuk sekali tes. Di Lab tersebut aku melakukan tes Ultrasonography (USG) pada bagian leher. Setelah itu aku konsultasi lagi dengan dokter. Dokter membacakan hasil Lab USG kepadaku dan hasilnya aku terkena kanker tiroid. Namun belum jelas jenis kanker tiroid yang seperti apa. Beliau kemudian menyarankanku untuk melakukan tes lab lanjutan yaitu tes hormon T3 dan T4, juga Computerized Tomography Scan (CT-Scan).
Pada tahap ini aku sempat menyerah pada keadaan. Konsultasi dan serangkaian tes yang harus aku jalani tidak aku lanjutkan. Aku kembali melakukan aktivitas seperti biasanya. Berbulan-bulan aku tidak perduli pada keadaanku. Hingga akhirnya keadaanku semakin memburuk. Setiap hari terserang flu dan batuk, dan pada tahap yang lebih parah detak jantung semakin kencang dan napas terasa semakin berat juga suaraku hampir hilang.Â
Ketika aku menjadi narasumber untuk mengisi materi di organisasi, suaraku serak dan semakin tidak bersuara. Segera saja aku melanjutkan pengobatanku. Bila sebelumnya aku tidak diberi obat sama sekali, kali ini karena suaraku semakin serak, batuk tidak pernah berhenti, dan tekanan darah tinggi, dokter memberikan obat untuk sementara.
Kali ini aku lakukan pengobatan kanker tiroidku tahap demi tahap. Aku harus meminta rujukan dari Puskesmas. Dokter di Puskesmas kaget dengan benjolan di leher dan dadaku. Dokter tersebut menyarankanku untuk dirujuk langsung ke RS Cideres karena harus segera ditangani. Namun aku meminta untuk dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) saja karena dokter yang dulu menanganiku di RSUD. Akhirnya aku dirujuk ke RSUD.
Dokter yang menanganiku, memintaku melakukan serangkaian tes. Seperti, uji lab (cek darah, urin, hormon T3 dan T4); USG bagian leher dan dada; CT Scan; dan Rontgen.
Di RSUD aku melakukan cek darah dan urin. Juga USG ulang karena hasil USG yang dulu sudah tidak relevan untuk digunakan sebagai analisis dokter. Kebetulan saat itu di RSUD sudah ada alat USG sehingga tidak perlu melakukan tes di lab swasta. Aku melakukannya melalui rawat jalan. Setiap hari dalam dua minggu aku bolak-balik RS.
Lagi-lagi karena fasilitas masih kurang, dokter di RSUD merujukku ke RS Cideres untuk melakukan CT-Scan. Di RS Cideres aku ditangani oleh dr. Okky, Sp.B. Sebelum CT-Scan aku melakukan cek darah terlebih dahulu untuk mengetahui kadar gula dan asam dalam darah. Untuk melakukan tes CT-Scan minimal kadar asam dalam darahku harus stabil. Di RS Cideres ini aku dirawat selama empat hari. Beliau menjelaskan tentang penyakitku dan kemungkinan besar harus dioperasi. Operasi yang harus kujalani merupakan operasi besar yang memiliki resiko kerusakan pada pita suara.
Karena memerlukan alat operasi yang lengkap dan ruang ICU yang memadai, beliau merujukku ke RS Hasan Sadikin Bandung. Di RSHS tersebut aku disarankan menemui dr. Kiki, Sp.B.Onk di poli klinik bedah onkologi RSHS.
Sayangnya saat itu, setelah di cek, jadwal operasi dan ruang ICU RSHS sedang penuh. Dokter Kiki tidak mau menerima resiko besar. Beliau tidak ingin aku menunggu sampai 3-4 bulan hanya untuk menunggu jadwal operasi dan ICU. Agar aku segera ditangani, beliau merujukku untuk ke dokter spesialis bedah thorak yaitu dr. Peter Syarif, Sp.BTKV., di RS HA Rotinsulu. Dokter Kiki bilang kepadaku, "Kemungkinannya ada dua. Kalau kata dr. Peter harus operasi, saya oke. Kalau harus kemo (chemoteraphy), ya kamu harus jalani itu. Paling nanti efeknya mual-mual, seluruh badan lemas, dan kerontokan rambut. Tapi nanti juga bisa tumbuh lagi kok, gak gundul selamanya,". Mendengar kata "kemo" serasa dunia telah berakhir. Namun lagi-lagi aku harus kuat mendengar apapun yang dikatakan dokter.
Hari itu juga, bergelut dengan waktu, aku langsung ke RS Rotinsulu. Aku temui dr. Peter, dan untungnya beliau masih ada di ruangannya. Padahal beberapa menit lagi beliau harus masuk ruang operasi karena hari itu beliau ada jadwal operasi. Beliau pembawaannya tenang. Saat itu tensi darahku naik hingga 170/90. "Kamu gak pusing? Dengan tensi tinggi begini kalau tidak kuat-kuat amat bisa lemas bahkan pingsan kamu," kata beliau sambil tertawa. Aku hanya bisa tersenyum.
Beliau mencoba menenangkanku dan meminta data-data hasil tes laboratorium dan radiologi dari RS sebelumnya. Beliau terbuka tentang penyakitku dan menjelaskan kepadaku bahwa operasi ini akan ditangani beberapa dokter termasuk dr. Kiki dari RSHS yang menangani pembedahan di bagian leher. Sedangkan beliau sendiri sesuai dengan spesialisasinya yaitu pembedahan di bagian thorak/tulang dada.
Akhirnya beliau menyarankanku untuk operasi saja, belum tentu harus kemo. Aku juga disarankan pakai BPJS karena regulasi di RS Rotinsulu setiap pasien BPJS harus ditangani dengan baik dan analisis dokter harus akurat, maka aku diharuskan melakukan  serangkaian tes ulang dari mulai cek tensi darah, rontgen, cek kadar gula dan asam dalam darah dan tes urine untuk mengetahui hormone T3 dan T4, USG, CT-Scan, dan BTA atau sitologi aspirasi jarum halus untuk mengambil sel sampel dari benjolan yang akan diteliti dengan mikroskop. Serangkain tes tadi harus aku lalui sebelum benar-benar aku dioperasi. Pada hari itu juga aku dirawat inap selama lima hari.
Hasil dari pemeriksaan dengan rontgen, tes T3 dan T4, USG, CT-Scan, BTA atau sitologi aspirasi jarum halus yang dijelaskan oleh dr. Peter tersebut sungguh di luar perkiraanku. Aku divonis kanker Pappiller Thyroid Carsinoma, yaitu salah satu jenis kanker tiroid dan termasuk dalam Hipertiroid. Hipertiroid inilah yang menyebabkan nodul tiroid (benjolan pada kelenjar tiroid yang memproduksi hormon tiroid terlalu banyak). Dari beliau, aku mendapatkan suntikan semangat baru. Menurut beliau, dunia kedokteran sekarang sudah amat maju. Kanker tiroid yang kuderita merupakan jenis kanker yang memiliki peluang sembuh tinggi bila ditangani dengan tepat. Dan harus segera dioperasi. Sambil menunggu jadwal operasi yang akan dilakukan 2-3 minggu kemudian, aku diperbolehkan pulang dulu.
Tiga minggu kemudian aku mendapat kabar lewat telepon dari pihak RS Rotinsulu bahwa aku sudah dijadwalkan operasi dan aku diharuskan sudah dirawat di RS 2 hari sebelum operasi. Dalam dua hari tersebut, untuk mempersiapkan operasi, aku menjalani tes Spirometri untuk cek kesehatan paru-paru dan tes Elektrokardiogram (EKG) untuk cek kesehatan jantung. Dan dalam dua hari juga tensi darahku dikontrol dengan baik agar ketika operasi keadaan tensi darahku stabil atau normal. Semua serangkaian tes tersebut menghasilkan bahwa paru-paru dan jantungku normal, sedang tensi darahku stabil.
Pada hari H operasi, aku dibawa ke ruangan operasi sekira pukul 8.30 WIB setelah cek tensi darah. Memasuki ruangan operasi aku terus berdo'a. Di ruangan operasi terdengar lagu A Sky Full of Stars milik Coldplay diputar. Sebelum kemudian aku tidak sadarkan diri setelah disuntikkan obat anestesi.
Aku tersadar ketika adzan maghrib berkumandang sekira pukul 18.00 WIB. Dijelaskan oleh perawat yang menanganiku di ruang ICU bahwa operasinya berjalan lancar selama 7 jam, dari pukul 9.00 sampai 16.00 WIB. Dijelaskan pula saat itu aku sedang di ruang ICU yang sebelumnya aku di ruang operasi. Perawat itu menyarankanku untuk menggerakkan jari-jari tangan dan kaki.Â
Kulihat di tangan kananku ada selang infusan obat penghilang rasa sakit, di tangan kiriku alat tensi darah/tensimeter, di kaki kananku ada alat pulse oximeter untuk mengukur kadar oksigen dalam darah dan juga selang infusan obat Ringer Laklat (RL), di bagian dadaku ada kabel-kabel alat EKG jantung, di bagian leher kiri dan dada sebelah kanan ada selang pembuangan darah sisa operasi. Dan akupun masih harus bernapas memakai alat bantu oksigen. Makan dan minum pun terasa aneh akibat obat penghilang rasa sakit yang memiliki efek mual.
Empat hari di ruang ICU sungguh terasa bosan. Malam hari ke empat aku sudah diperbolehkan pindah ke ruangan pasien biasa. Semua alat dari kabel dan selang dilepas kecuali infusan di tangan dan selang pembuangan darah sisa operasi. Di ruang pasien biasa aku dirawat selama lima hari. Total aku berada di RS selama 11 hari. Selama lima hari di ruang pasien biasa aku banyak mendapat motivasi dari sesama pasien. Ada yang sudah kemo sebanyak 8 kali dan ada yang akan terapi ablasi atau sinar radioaktif, tetapi mereka tetap semangat untuk sembuh.
Setelah operasi dan bekas operasianku sembuh nanti, aku harus melakukan terapi lanjutan yaitu terapi ablasi atau radioaktif. Dokter spesialis onkologi di RS Rotinsulu menjelaskan kepadaku, "Terapi ini menggunakan cairan nuklir iodium radioaktif untuk membunuh sisa-sisa sel kanker pasca operasi, namun biasanya menyebabkan kerusakan tiroid permanen. Setelah di sinar, pasien harus selalu minum obat hormon tiroid selama hidupnya supaya kadar tiroidnya normal. Tapi mudah-mudahan tetap normal. Kalau sudah normal sih gak harus minum obat lagi,".Â
Terapi radiasi nuklir dengan cairan iodine-131 satu-satunya cara membunuh sel-sel kanker pasca operasi tiroid. Untuk menjalani terapi itu aku harus diisolasi dalam ruangan khusus. Namanya Ruang Isolasi Radio Aktif (RIRA) selama lima hari. Tak boleh bertemu orang lain, sampai radioaktif hilang. Yah selama lima hari  itulah saya banyak berdoa dan bertafakur.
Apapun untuk kesembuhanku, akan aku jalani. Aku harus terus bersahabat dengan tiroidku. Semua sudah aku pasrahkan kepada Allah SWT sang pemilik tubuh ini. Wallahu A'lam Bisshowabi.
Uub Ayub Al Ansori
@Ayub_Jambu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H