Mohon tunggu...
Ayub Simanjuntak
Ayub Simanjuntak Mohon Tunggu... Lainnya - The Truth Will Set You Free

Capturing Moments With Words

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencabut Akar Bullying: Misi Mustahil?

5 Oktober 2024   16:12 Diperbarui: 5 Oktober 2024   16:47 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mereka harus membangun hubungan positif dengan anak-anak dalam asuhan mereka guna membantu mencegah terjadinya perundungan. Para guru misalnya dapat memberikan kesempatan kepada seluruh siswa untuk berpartisipasi dalam seluruh kesempatan untuk tampil dan menunjukan eksistensi baik dalam kurikulum maupun ekstrakurikuler.

Guru harus membuat kesepakatan kelas yang senantiasa bergerak kearah pemenuhan visi belajar. Setiap gerakan yang bertujuan menggagalkan kesepakatan kelas harus segera dikoreksi sehingga tidak ada ruang bagi siswa-siswa lain menjadi "motor" dan menggerakan kearah yang berlawanan.

Budaya Toleran

Seringkali, seorang anak menjadi korban perundungan karena perbedaan seperti warna kulit, pakaian, tinggi badan, berat badan, agama, dan sebagainya. Melatih toleransi sangat penting supaya orang-orang di sekitar kita dapat belajar menerima tanpa  mengkritik, mengeluh, atau menghakimi mereka. Kita tidak perlu menjadikan mereka sahabat, tetapi kita bisa menerima perbedaan mereka dan melanjutkan hidup tanpa melakukan perundungan atau menyakiti mereka.

Toleransi pada anak-anak (pngwing.com)
Toleransi pada anak-anak (pngwing.com)

Toleransi memampukan kita bersikap fleksibel, menerima, dan sabar terhadap hal-hal, orang, atau situasi yang berada di luar kendali kita. Dengan toleransi, kita dapat mengabaikan hal-hal yang tidak kita sukai dan tetap menjaga hubungan baik (atau setidaknya tidak bermusuhan atau melakukan perundungan).

Orang yang toleran memahami bahwa ada hal-hal yang tidak nyaman dan tidak bisa diubah, namun mereka menanggapinya dengan pengertian, kesabaran, dan pengampunan.

Sekolah seharusnya menjadi garda kedua setelah keluarga dalam memastikan semua anak mendapatkan pendidikan toleransi sedini mungkin. Sikap-sikap intoleransi dimasyarakat merupakan indikasi kuat budaya belajar  toleransi kita tidak berjalan dengan baik.

Budaya Inklusi

Pemerintah melalui Direktorat Guru Pendidikan Menengah dan Pendidiakan Khusus telah mensosialisasikan program berpikir inklusif.

Berpikir inklusif tidak hanya bagian dari sektor pendidik (guru) atau sekolah yang berlabel sekolah inklusif saja. Idelanya semua satuan pendidikan harus berproses untuk untuk menjadi semakin inklusif. UNICEF percaya bahwa setiap anak itu berhak mendapatkan pendidikan yang iklusif, artinya tidak ada segregasi ataupun yang hanya bersifat integrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun