Selain menekuni pelajarannya di Madrasah al-Wathaniyyah al-Islamiyyah, Rasyid Ridha juga tekun mengikuti berita perkembangan dunia Islam melalui surat kabar al-`Urwah al-Wutsqa (Ikatan Yang Kuat; surat kabar berbahasa Arab yang dipimpin oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, diterbitkan di pengasingan mereka di Paris).Â
Melalui surat kabar ini Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaharu yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ide-ide pembaruan yang dikumandangkan oleh kedua tokoh itu melalui surat kabar al-`Urwah al-Wutsqa sangat berkesan dalam diri Rasyid Ridha dan menimbulkan keinginan yang kuat di hatinya untuk bergabung dan berguru pada keduanya.
Keinginan Rasyid Ridha untuk bertemu al-Afghani tidak tercapai karena ia lebih dahulu meninggal sebelum Rasyid Ridha sempat menjumpainya. Sebaliknya, Muhammad Abduh sempat dijumpainya ketika yang disebut terakhir ini berada dalam pembuangannya, di Beirut.Â
Pertemuan dan dialog-dialog antara Ridha dan Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kebodohannya. Rasyid Ridha banyak menyerap pikiran-pikiran dan pandangan-pandangan Muhammad Abduh dalam usaha memajukan umat Islam.
Baca juga : Merangkul Inisiator Pendidikan di Masyarakat
Setelah Muhammad Abduh diizinkan kembali ke Mesir, ia kemudian mengikutinya pada tahun 1898. Setibanya di Mesir, ia mengusulkan kepada gurunya, Muhammad Abduh, agar menerbitkan sebuah majalah yang akan menyiarkan ide-ide dan pikirannya. Atas dasar ini terbitlah sebuah majalah yang diberi nama al-Manar, nama yang diusulkan Rasyid Ridha dan disetujui Muhammad Abduh.Â
Dalam terbitan perdananya dijelaskan bahwa tujuan al-Manar sama dengan al-`Urwah al-Wutsqa, yaitu untuk memajukan umat Islam dan menjernihkan ajaran Islam dari segala paham yang menyimpang.
Setahun setelah al-Manar terbit, ia mengajukan saran kepada gurunya agar menafsirkan Al-Qur'an dengan tafsiran yang relevan dengan tuntutan zaman. Ketika itu Muhammad Abduh aktif mengajar tafsir Al-Qur'an di al-Azhar. Sebagai murid, Rasyid Ridha mencatat kuliah-kuliah gurunya, lalu catatannya itu diserahkan kepada gurunya untuk dikoreksi Selesai diperiksa, catatan itu diterbitkan dalam majalah al-Manar.Â
Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah al-Manar inilah yang kemudian dibukukan menjadi Tafsir al-Manar. Sampai wafatnya, Muhammad Abduh hanya sempat menafsirkan hingga surah an-Nisa' ayat 125. Penafsiran ayat-ayat selanjutnya dilakukan oleh Rasyid Ridha sendiri.
Rasyid Ridha juga seorang pengikut tarekat, yaitu Thareqat Naqsyabandiyah. Berdasarkan pengalamannya di dunia tarekat, ia menyimpulkan bahwa ajaran-ajaran tarekat yang berlebihan dalam cara beribadat dan pengkultusan seorang guru membuat seseorang mempunyai sikap statis dan pasif. Sikap-sikap seperti itu jelas merugikan umat Islam.
Ide-ide pembaharuan penting yang dibawa Rasyid Ridha adalah dalam bidang agama, bidang pendidikan, dan bidang politik. Dalam bidang agama ia berpendapat bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya, melainkan ajaran-ajaran yang sudah banyak bercampur dengan bid'ah dan khurafat.Â