Pada akhirnya saya memang terluka dan berdarah-darah. Saya down, denial, dan frustrasi. Saya menemui psikolog, bertanya pada teman senior, curhat kepada sahabat dengan pengalaman serupa, sampai akhirnya saya intens berkomunikasi dengan kecerdasan buatan.
Tak seorang pun tahu kapan badai itu datang, dan bagaimana caranya menerjang. Mungkin seperti tikaman dari arah belakang, atau mungkin seperti api dalam sekam, yang membakar perlahan dari dalam.
Yang pasti saya merasakan kepedihan demi kepedihan. Apalagi ternyata penyebabnya karena saya mengizinkan batin saya merasakannya.
Pelajaran berharga dari sebuah pil pahit
Seseorang tidak suka menelan pil pahit, namun dalam situasi terpaksa pastilah diminum jua. Begitu pula saya.
Kemelut rumah tangga yang melemahkan semangat saya berkompasiana, bahkan sering gagal fokus membaca chat WAG kepenulisan yang saya ikuti, ternyata memberikan saya pelajaran antara lain seperti berikut:
- Menyadari kekeliruan yang semula dirasa wajarÂ
Karakter bawaan yang selama 18 tahun seolah sudah diterima pasangan, ternyata menjadi bom waktu. Tiba-tiba saja saya dihadapkan pada tudingan tidak memvalidasi ego pasangan, kurang memuji, dan tidak menghargai. Relasi yang terlihat berjalan baik, diam-diam menyimpan potensi konflik.
Contoh:Â
Ketika saya dibuatkan meja kompor lengkap dengan rak kecil di bagian sudut, saya tidak mengucapkan rasa terima kasih atau sanjungan kepada suami. Saya merasa itu hanyalah sebuah meja sederhana dari sisa potongan kayu seadanya, bukan sesuatu yang cukup berharga untuk dibanggakan.
- Sifat baik yang menjadi senjata makan tuanÂ
Terlalu jujur dan idealis, mendorong saya bersikap kritis di manapun dan kepada siapa pun. Dan pada akhirnya kekuatan berpikir ini mengantarkan saya pada klaim bahwa saya memaksakan pikiran saya kepada pasangan. Standar tinggi yang saya miliki, harus senantiasa dipenuhi.
Contoh:
Ketika suami pulang membawakan pisang pesanan saya, terlihat ini tidak apa yang diharapkan. Pisang tersebut masih sedikit muda, masih perlu waktu dua hari untuk bisa dinikmati. Saya mengabaikan kondisinya yang kuning cantik dan montok. Saya lebih fokus kepada apa yang kurang (risk).
Kepedulian melahirkan sikap defensifÂ