Seorang ayah, adalah cinta pertama bagi anak perempuannya!
Luna membenci kata-kata itu, apalagi diucapkan musuh bebuyutannya di sekolah, siang tadi. Luna merasa Qinaya sengaja menyindir karena tahu ayah Luna sudah lama meninggalkan rumah.
Bisik-bisik tetangga memang sering terdengar lebih jelas ketimbang suara toa masjid. Apalagi ibunya sering kewalahan menahan rasa sakit akibat perselingkuhan ayahnya. Mungkin ibunya pernah sekali-dua bercerita kepada tetangga yang dianggap bisa dipercaya.
Luna tak menyalahkan ibunya. Dia sendiri turut menjadi korban keegoisan laki-laki yang disebut ayah, persisnya dulu, ketika keluarganya masih utuh. Sekarang laki-laki itu tak pernah menampakkan batang hidungnya lagi di rumah mereka. Kemungkinan sudah bahagia dalam pelukan perempuan murahan itu.
Luna masih menyimpan nomor WhatsApp yang dia beri nama "janda gatel'. Sayang ibunya melarang Luna nge-chat apapun ke nomor perempuan itu. Ibunya tak mau Luna mendapat balasan yang justru bisa membuatnya menangis. Belum lagi kalau ayahnya sampai tahu dan malah menghukumnya karena dianggap kurang ajar.
Luna merasa gemas melihat ibunya tak melakukan apa-apa untuk membalas perempuan itu. Sekedar caci-maki lalu memblokir nomor janda gatel itu sebelum dia balik membalas, kan bisa? Ibunya pasrah saja sampai ayahnya benar-benar meninggalkan mereka.
"Ibu ngga keberatan kalau memang ini sudah ditakdirkan untuk kita. Jangan memperpanjang masalah. Ngga ada gunanya, Sayang..." ibunya mengelus-elus kepalanya dengan wajah yang dibuat sabar. Luna tahu jauh di dalam hati ibunya sangat hancur.
Luna hanya bisa menangis, saat duduk di teras kamarnya, ditemani matahari senja. Dia tak mengerti sama sekali cara orang dewasa berpikir. Dia juga tak paham mengapa ibunya tak menggugat cerai saja, atau minimal membalas dengan perselingkuhan yang sama.
Angin sore kembali berembus. Aroma yang berasal dari warung mie ayam milik tetangganya, menggoda hidung Luna. Dia sangat suka mie ayam. Mie yang kenyal, kuah gurih, ditimpa potongan daging ayam kaya rempah dan manis kecap. Sempurna!
Biasanya saat pulang kerja, ayah Luna mampir membeli dua bungkus mie ayam untuk dia dan kakaknya. Ibunya akan menuangkan masing-masing ke dalam mangkuk. Mengguyurkan air jeruk nipis diikuti suara seruput dari Luna. Luna selalu menunggu ibunya dengan tangan terlipat dan hidung kembang kempis. Dia sangat menikmati aroma saat kuahnya dituang ke mangkuk mie.
Luna menitikkan air mata. Dipandanginya matahari yang terus tenggelam di balik bukit. Warnanya semakin merah dan langit semakin dipenuhi gerombolan awan.Â
Dia merasakan matahari itu seperti menghampiri duduknya, mengerti dengan apa yang dirasakannya sekarang. Luna juga seolah dapat merasakan kehangatan yang berasal dari seseorang yang melindunginya. Matahari itu seakan menjelma sahabat yang siap mendengarkan apapun keluhannya.
Sesaat gadis itu terperanjat. Benda di tangannya tiba-tiba berkedut, dan layarnya bercahaya.
"Ibu pulang telat ya Nak. Ibu mampir dulu membeli bahan-bahan kue. Kalau Luna lapar, ibu sudah siapkan ikan pindang di kulkas ya..."
Luna membaca pesan WhatsApp dari ibunya. Dia membalas singkat, lalu menghela napas.
Makan malam hanya berdua dengan kakak perempuannya, rasanya semakin tidak menarik seleranya. Suasana rumah kian terasa hampa saja.
"Tenanglah. Bukankah kamu mampu melewati semuanya?" bisik sebuah suara di kepalanya.Â
"Dunia ini kejam! Mereka merampas kebahagiaanku!" dia berteriak dalam hati.
"Bukankah manusia hanya mengikuti takdirnya? Rasa sakit atau rasa bahagia, tergantung bagaimana manusia melihatnya."
Luna memilih diam. Percuma, jika dia melawan.
Saraf-saraf di wajahnya seketika saling tarik-menarik, rahangnya mengeras, dan matanya menghangat.
Luna melihat lagi ke arah matahari tenggelam di ujung langit sana. Tersisa bias merah yang kian menyala, kontras  dengan gedung-gedung di bawahnya yang semakin menghitam.Â
 "Dek, ibu sudah pulang," tiba-tiba kakaknya sudah berada di ambang pintu.
"Ibu bawa mie ayam untuk kita."Â
*
Dua tahun kemudian...
Luna menikmati suara musik dari handphone-nya. Masih di teras kamarnya, menikmati matahari senja, namun kali ini dengan pipi yang lebih chubby dan wajah yang cerah.
Dia tidak lagi menjadi Luna yang dulu--enggan ke sekolah karena cemoohan Qinaya--tetapi sudah menjadi the new Luna. Dia tidak lagi rapuh, karena ibunya mengajarinya bangkit dari kepedihan. Dia membuat dirinya bukanlah objek dari semua yang menimpanya, tetapi penonton. Sama dengan orang-orang itu, yang menganggap adanya sesuatu yang menarik untuk dinikmati.
Luna ikut tersenyum, dan merasa tidak perlu membalas apa-apa. Dia malah membumbui gosip-gosip tentang orang tuanya dengan gimik-gimik yang lucu. Sampai akhirnya semua orang bosan mem-bully-nya.
Tinggal beberapa bulan lagi, Luna akan memasuki jenjang SMU. Dia optimis akan diterima di sekolah yang diinginkannya. Begitu selesai ujian, dia akan menerima tawaran bekerja di toko buku yang saat ini dia minta ditangguhkan.Â
Seandainya dulu dia tahu jalan hidupnya tidak serumit kelihatannya, mungkin saat itu dia tidak perlu termehek-mehek disaksikan langit kemerahan. Toh, kakaknya juga terlihat tegar meskipun bayangan hidup tanpa ayah dulu tampak sangat menakutkan.
"Bukankah dia hanya manusia biasa? Seorang anak tidak bisa menggantungkan dirinya meskipun cinta seorang ayah selalu sempurna." Matahari yang terkadang menjelma menjadi sosok sahabat yang duduk di sebelahnya, selalu hadir menguatkan hati Luna.Â
Maka, ketika laki-laki yang dulunya menjadi ayah di rumah ini, datang menemui ibunya dan berlutut memohon maaf, Luna segera berlari menaiki tangga. Dia lebih memilih meninggalkan celah pintu tempat dia mengintai, duduk tenang menikmati matahari yang semakin tenggelam ke balik bukit. Memandangi bias merah yang kian menyala, kontras  dengan gedung-gedung yang semakin menghitam di bawah langit.
Sesuatu akan jauh lebih terasa sulit, jika belum dijalani dengan berani. Luna tidak akan menyia-nyiakan pesan dari ibunya saat itu. Dia pun merasa tidak perlu mendengar apa reaksi ibunya, saat laki-laki itu memohon untuk diterima kembali di tengah-tengah mereka.
Ketika detik berikutnya, laki-laki itu justru berada di sisinya dan merangkul bahunya dengan sayang, Luna sama sekali tak menjatuhkan air matanya. Dia tidak terharu, apalagi rindu.
***
Kota Kayu, 7 Desember 2024
Cerpen Ika Ayra
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI