Luna menitikkan air mata. Dipandanginya matahari yang terus tenggelam di balik bukit. Warnanya semakin merah dan langit semakin dipenuhi gerombolan awan.Â
Dia merasakan matahari itu seperti menghampiri duduknya, mengerti dengan apa yang dirasakannya sekarang. Luna juga seolah dapat merasakan kehangatan yang berasal dari seseorang yang melindunginya. Matahari itu seakan menjelma sahabat yang siap mendengarkan apapun keluhannya.
Sesaat gadis itu terperanjat. Benda di tangannya tiba-tiba berkedut, dan layarnya bercahaya.
"Ibu pulang telat ya Nak. Ibu mampir dulu membeli bahan-bahan kue. Kalau Luna lapar, ibu sudah siapkan ikan pindang di kulkas ya..."
Luna membaca pesan WhatsApp dari ibunya. Dia membalas singkat, lalu menghela napas.
Makan malam hanya berdua dengan kakak perempuannya, rasanya semakin tidak menarik seleranya. Suasana rumah kian terasa hampa saja.
"Tenanglah. Bukankah kamu mampu melewati semuanya?" bisik sebuah suara di kepalanya.Â
"Dunia ini kejam! Mereka merampas kebahagiaanku!" dia berteriak dalam hati.
"Bukankah manusia hanya mengikuti takdirnya? Rasa sakit atau rasa bahagia, tergantung bagaimana manusia melihatnya."
Luna memilih diam. Percuma, jika dia melawan.
Saraf-saraf di wajahnya seketika saling tarik-menarik, rahangnya mengeras, dan matanya menghangat.
Luna melihat lagi ke arah matahari tenggelam di ujung langit sana. Tersisa bias merah yang kian menyala, kontras  dengan gedung-gedung di bawahnya yang semakin menghitam.Â