Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dia Menemaniku, itu Cukup untuk Menggantikanmu

7 Desember 2024   17:18 Diperbarui: 7 Desember 2024   17:56 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Kioko Kivva dari Pinterest 

 "Dek, ibu sudah pulang," tiba-tiba kakaknya sudah berada di ambang pintu.

"Ibu bawa mie ayam untuk kita." 

*

Dua tahun kemudian...

Luna menikmati suara musik dari handphone-nya. Masih di teras kamarnya, menikmati matahari senja, namun kali ini dengan pipi yang lebih chubby dan wajah yang cerah.

Dia tidak lagi menjadi Luna yang dulu--enggan ke sekolah karena cemoohan Qinaya--tetapi sudah menjadi the new Luna. Dia tidak lagi rapuh, karena ibunya mengajarinya bangkit dari kepedihan. Dia membuat dirinya bukanlah objek dari semua yang menimpanya, tetapi penonton. Sama dengan orang-orang itu, yang menganggap adanya sesuatu yang menarik untuk dinikmati.

Luna ikut tersenyum, dan merasa tidak perlu membalas apa-apa. Dia malah membumbui gosip-gosip tentang orang tuanya dengan gimik-gimik yang lucu. Sampai akhirnya semua orang bosan mem-bully-nya.

Tinggal beberapa bulan lagi, Luna akan memasuki jenjang SMU. Dia optimis akan diterima di sekolah yang diinginkannya. Begitu selesai ujian, dia akan menerima tawaran bekerja di toko buku yang saat ini dia minta ditangguhkan. 

Seandainya dulu dia tahu jalan hidupnya tidak serumit kelihatannya, mungkin saat itu dia tidak perlu termehek-mehek disaksikan langit kemerahan. Toh, kakaknya juga terlihat tegar meskipun bayangan hidup tanpa ayah dulu tampak sangat menakutkan.

"Bukankah dia hanya manusia biasa? Seorang anak tidak bisa menggantungkan dirinya meskipun cinta seorang ayah selalu sempurna." Matahari yang terkadang menjelma menjadi sosok sahabat yang duduk di sebelahnya, selalu hadir menguatkan hati Luna. 

Maka, ketika laki-laki yang dulunya menjadi ayah di rumah ini, datang menemui ibunya dan berlutut memohon maaf, Luna segera berlari menaiki tangga. Dia lebih memilih meninggalkan celah pintu tempat dia mengintai, duduk tenang menikmati matahari yang semakin tenggelam ke balik bukit. Memandangi bias merah yang kian menyala, kontras  dengan gedung-gedung yang semakin menghitam di bawah langit.

Sesuatu akan jauh lebih terasa sulit, jika belum dijalani dengan berani. Luna tidak akan menyia-nyiakan pesan dari ibunya saat itu. Dia pun merasa tidak perlu mendengar apa reaksi ibunya, saat laki-laki itu memohon untuk diterima kembali di tengah-tengah mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun