Dan anak sulung kami yang sebentar lagi memasuki gerbang 17 tahun, mempunyai jadwal kegiatan yang jauh lebih padat. Mulai dari mengerjakan tugas dari guru mata pelajaran, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, sampai mengikuti lomba-lomba yang diadakan di luar sekolah.Â
Meskipun anak sulung mempunyai buku pengingat tugas (kami menyebutnya buku notif), namun saya tetap mengingatkan agar tidak ada yang terlupa.
2. Menjadi suporter dari rumah
Ini berlaku untuk anak tengah dan anak sulung yang membawa ponsel pribadi ke sekolah. Tidak setiap hari, tetapi saya akan hadir dalam bentuk chat WhatsApp atau direct message untuk menuliskan kalimat semangat, doa, dan apresiasi untuk kegiatan yang sedang berlangsung di sekolah masing-masing.Â
Dan saking sukanya, baik anak sulung maupun anak tengah tidak menghapus chat tersebut walau sudah cukup menggunung. Mereka terus membiarkannya untuk dibaca lagi sewaktu- waktu.
3. Menjadi pendengar
Anak-anak selalu butuh didengarkan kisah keseharian maupun apa yang dirasakan sepanjang hari. Baik senang, sedih, kecewa, atau kebingungan.
Misalnya, suatu hari anak tengah menceritakan kedatangan orang tua salah satu temannya. Teman yang selama ini memperlihatkan sikap agresif dan sulit mengontrol emosinya, ternyata benar mengalami gangguan mental. Untunglah orang tua yang bersangkutan segera mengambil langkah pengobatan dan mengurus pengunduran diri anaknya dari sekolah.
Anak tengah merasa syok karena apa yang dilihatnya di media sosial, pernah berada sangat dekat di depan matanya.Â
"Mengerikan! Semuda itu sudah putus sekolah dan sekarang harus berjuang untuk sembuh!" tukasnya.
Begitulah. Dengan senang hati saya akan mendengarkan apapun yang mereka sampaikan. Sembari mereka menikmati camilannya dari kulkas, atau sambil santap siang.Â