Pernikahan itu pun terjadi. Rumah kami menjadi saksi kebahagiaanku yang terkoyak. Mikaila kini adalah istri baru suamiku. Dia dan anaknya akan tinggal bersama kami.
"Saya mohon maaf telah hadir di tengah-tengah keluarga ini. Saya berjanji akan..."
Aku segera membuang muka, dan Mikaila urung meneruskan kalimatnya yang mudah dibuat oleh anak kecil.
Hari terus berlalu.Â
Rasa sakit yang semula kuharap bisa berkurang dan hilang, nyatanya tidak semudah itu. Semakin sering kudengar nama Mikaila dipuji-puji oleh suamiku di rumah ini, kewarasanku menjadi semakin terguncang.
Memasuki tahun kedua, banyak yang terkejut saat bertemu denganku di berbagai kesempatan. Mereka bilang aku sekarang kurusan dan wajahku pucat.Â
Aku tidak heran, aku sendiri sering mematut diri di cermin. Aku tampak semakin kusut dan kehilangan semangat hidup.Â
Beberapa teman menyarankan agar aku menemui tenaga profesional. Aku harus bisa merawat mentalku agar tidak larut dalam kekecewaan. Nyatanya semua tak terlalu mudah untuk dikendalikan. Aku merasa harus menanggung hal yang tidak kuinginkan, demi mempertahankan pernikahan dengan suamiku.
Aku sangat membenci Mikaila, wanita busuk yang menjual cerita sedihnya untuk memerangkap suamiku. Bahkan suamiku tak sempat memikirkan apakah anak-anak kami terluka atau tidak.
Sampai suatu hari di tahun keempat pernikahan Mikaila dan suamiku, terbukalah sebuah bukti mengejutkan.Â
Mikaila tak puas dengan apa yang diterimanya. Dia ingin mempunyai rumah super mewah yang utuh.Â