Kehadiran Mikaila dalam rumah tangga kami, telah merusak kehormatan dan harga diriku. Sebelas tahun menjalani suka-duka rumah tangga dengan penuh kesabaran dan kesetiaan, akhirnya harus hancur dalam sekejap.Â
Suamiku sudah tidak mengingat saat dia jatuh dulu. Semua orang meninggalkannya, kecuali aku dan kedua orang tuanya yang tetap menemani dan mendukungnya.
Jika suamiku memutuskan untuk menikah lagi, artinya ada yang kurang dari rumah tangga kami, bukan? Mungkin Mikaila lebih cantik dan lebih muda dariku, atau mungkin karena perempuan itu lebih pandai urusan ranjang.
Memikirkan itu hatiku semakin sakit rasanya. Seorang istri dituntut selalu bersabar dalam rumah tangganya, tetapi itu seperti ditusuk oleh ribuan jarum.Â
Saat menatap potret lama buah hati kami yang polos dan senyum ceria, aku sadar betapa berartinya mereka dalam hidupku. Aku tak boleh gegabah menghadapi masalah ini.
"Ayah akan membeli rumah baru untuk kami nanti," kata suamiku suatu hari.
Aku tersentak. Betapa jahatnya perempuan yang memisahkan suamiku bahkan dari anak-anaknya. Bukankah Mikaila sebenarnya tahu bagaimana rasanya ketika suami direbut orang lain?
"Itu ide yang bagus, Ayah," sahutku berusaha tenang.Â
"Tetapi bagaimana kalau Mikaila tinggal di sini bersama kita? Ayah akan lebih mudah bertemu anak-anak, dan mereka tidak perlu kehilangan ayah."
"Rumah ini akan terpotong menjadi dua. Apa seperti itu maksud Bunda?"
Aku mengangguk pasti. "Tidak masalah!"