Mikaila, dia adalah istri baru suamiku. Posturnya menarik, dengan tidak terlalu tinggi dan badannya berisi. Kulitnya putih bersih, rambut hitam berombak, serta bola mata hitam.
Tetapi, di mataku dia sama sekali tidak menarik karena wajahnya tidak ekspresif. Mikaila juga butuh terlalu banyak waktu sebelum menjawab apapun yang ditanyakan kepadanya. Tampak terlalu banyak pikir, meskipun pertanyaannya adalah: apakah kau dan anakmu sudah makan siang?
Sebelum menikah dengan suamiku, Mikaila memang pernah bersuami. Namun saat kelahiran anak pertamanya, dia ditinggalkan begitu saja, demi wanita lain.Â
Dulu, saat pertama kali mendengar rencana suamiku menikah lagi, aku mengajaknya berbicara secara terbuka. Sebagai istri, tentu aku menolak keinginannya ini. Aku merasa tersakiti, dan ingin mencari sebuah keadilan dari jawaban suamiku. Namun ternyata niatnya menikahi Mikaila, sudah tidak dapat dibendung lagi.Â
"Jangan khawatir. Ayah akan tetap menyayangi keluarga kita."Â
"Apa alasan Ayah ingin menikah lagi?"
"Ayah kasihan pada Mikaila dan anaknya. Hanya itu."
"Ayah..."
"Ini sudah menjadi keputusan ayah. Sudah, ayah ingin istirahat!"
Hanya itu yang kudapatkan. Rasanya sangat menyakitkan mendapat pengabaian ini. Suamiku harus peduli dengan nasib Mikaila dan anaknya, tanpa memikirkan apakah setelah itu aku akan baik-baik saja, atau tidak. Apakah aku benar-benar bisa menerimanya lahir dan batin, atau tidak.
Kehadiran Mikaila dalam rumah tangga kami, telah merusak kehormatan dan harga diriku. Sebelas tahun menjalani suka-duka rumah tangga dengan penuh kesabaran dan kesetiaan, akhirnya harus hancur dalam sekejap.Â
Suamiku sudah tidak mengingat saat dia jatuh dulu. Semua orang meninggalkannya, kecuali aku dan kedua orang tuanya yang tetap menemani dan mendukungnya.
Jika suamiku memutuskan untuk menikah lagi, artinya ada yang kurang dari rumah tangga kami, bukan? Mungkin Mikaila lebih cantik dan lebih muda dariku, atau mungkin karena perempuan itu lebih pandai urusan ranjang.
Memikirkan itu hatiku semakin sakit rasanya. Seorang istri dituntut selalu bersabar dalam rumah tangganya, tetapi itu seperti ditusuk oleh ribuan jarum.Â
Saat menatap potret lama buah hati kami yang polos dan senyum ceria, aku sadar betapa berartinya mereka dalam hidupku. Aku tak boleh gegabah menghadapi masalah ini.
"Ayah akan membeli rumah baru untuk kami nanti," kata suamiku suatu hari.
Aku tersentak. Betapa jahatnya perempuan yang memisahkan suamiku bahkan dari anak-anaknya. Bukankah Mikaila sebenarnya tahu bagaimana rasanya ketika suami direbut orang lain?
"Itu ide yang bagus, Ayah," sahutku berusaha tenang.Â
"Tetapi bagaimana kalau Mikaila tinggal di sini bersama kita? Ayah akan lebih mudah bertemu anak-anak, dan mereka tidak perlu kehilangan ayah."
"Rumah ini akan terpotong menjadi dua. Apa seperti itu maksud Bunda?"
Aku mengangguk pasti. "Tidak masalah!"
Pernikahan itu pun terjadi. Rumah kami menjadi saksi kebahagiaanku yang terkoyak. Mikaila kini adalah istri baru suamiku. Dia dan anaknya akan tinggal bersama kami.
"Saya mohon maaf telah hadir di tengah-tengah keluarga ini. Saya berjanji akan..."
Aku segera membuang muka, dan Mikaila urung meneruskan kalimatnya yang mudah dibuat oleh anak kecil.
Hari terus berlalu.Â
Rasa sakit yang semula kuharap bisa berkurang dan hilang, nyatanya tidak semudah itu. Semakin sering kudengar nama Mikaila dipuji-puji oleh suamiku di rumah ini, kewarasanku menjadi semakin terguncang.
Memasuki tahun kedua, banyak yang terkejut saat bertemu denganku di berbagai kesempatan. Mereka bilang aku sekarang kurusan dan wajahku pucat.Â
Aku tidak heran, aku sendiri sering mematut diri di cermin. Aku tampak semakin kusut dan kehilangan semangat hidup.Â
Beberapa teman menyarankan agar aku menemui tenaga profesional. Aku harus bisa merawat mentalku agar tidak larut dalam kekecewaan. Nyatanya semua tak terlalu mudah untuk dikendalikan. Aku merasa harus menanggung hal yang tidak kuinginkan, demi mempertahankan pernikahan dengan suamiku.
Aku sangat membenci Mikaila, wanita busuk yang menjual cerita sedihnya untuk memerangkap suamiku. Bahkan suamiku tak sempat memikirkan apakah anak-anak kami terluka atau tidak.
Sampai suatu hari di tahun keempat pernikahan Mikaila dan suamiku, terbukalah sebuah bukti mengejutkan.Â
Mikaila tak puas dengan apa yang diterimanya. Dia ingin mempunyai rumah super mewah yang utuh.Â
Mikaila hanya perlu menyerahkan file penting suamiku, dan rekan bisnisnya dengan mudah bisa menjebloskannya ke penjara.Â
"Segera ceraikan aku, Ayah. Aku akan menikah dengan Pak Miko," Mikaila berkata dengan wajah tanpa ekspresi, sebelum berbalik pergi.Â
Suamiku menatap dengan sepenuh benci dari balik jeruji.Â
SELESAIÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI