Seandainya saja Azzam dan keluarganya tidak pernah datang melamar, dan bunda tidak harus melihatnya sebagai impian paling ditunggu oleh para gadis. Terus terang aku lebih suka hidup bersama mama dan adik-adikku saja.
Mungkin ini yang disebut trauma. Perasaan ngeri dan takut untuk berumah tangga.
Sebenarnya aku juga tidak ingat sejak kapan hal ini mengganggu perasaanku. Pemandangan menyedihkan yang terlalu sering kusaksikan dari pernikahan kedua orang tuaku, sepertinya telah melukai sisi batinku yang paling dalam.Â
Seolah bunda dipertemukan dengan orang yang salah meski dia adalah ayahku sendiri.
Saat adikku Lisa meninggalkan kamar, aku segera menghubungi Karina. Aku mengetikkan pesan pada sahabatku itu, berkeluh kesah, dengan harapan mendapatkan titik terang yang bisa memantapkan hatiku.
"Hey, harusnya kamu bersyukur bisa menemukan jodohmu di usia sekarang. Insya Allah Azzam adalah laki-laki terbaik seperti yang diharapkan semua istri..." Karina terdengar ceria dan bersemangat.
Usiaku dan Karina memang terpaut lima tahun. Dan sampai sekarang belum ada tanda-tanda Karina akan menikah. Tidak heran kalau dari sudut pandang Karina, seharusnya aku menyambut gembira pernikahanku dengan Azzam.
Jika kita mensyukuri nikmat dari Allah, maka nikmat itu akan ditambahkan lagi. Begitu nasihat bunda sering-sering. Dan aku tahu bunda senantiasa berdoa untuk kedatangan hari bahagiaku ini.Â
Bunda ingin aku mendapatkan jodoh yang terbaik, hidup bahagia dan tidak bernasib seperti apa yang dialami oleh bunda.
Tetapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi dengannya kelak. Saat ini posisi kaum perempuan masih sangat banyak yang memprihatinkan.
Ada yang memiliki suami tetapi menganggur saja dari waktu ke waktu. Mulai dari yang tidak punya banyak keterampilan sampai yang pilih-pilih kerja. Ada pula yang memiliki suami bekerja, tetapi justru pelit dan bersikap kasar kepada istrinya.Â