Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Jadi Pengantin

3 Oktober 2024   21:43 Diperbarui: 3 Oktober 2024   22:10 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Christel dari Pinterest 

Aku menatap dinding kamarku yang dihiasi brokat dan satin putih. Bunga-bunga cantik tersemat di sana-sini. Tak ketinggalan juga lampu kristal yang didesain sendiri oleh calon suamiku.  

Kesibukan di luar terdengar cukup jelas. Suara langkah kaki hilir mudik, ada juga suara orang memberi petunjuk, dan entah apa lagi.

Lisa, adik bungsuku, lagi-lagi datang ke kamarku. Matanya menatap lurus ke arahku, penuh selidik.

"Kakak, deg-degan yaa?

Kakak tetap sayang Lisa kan, kalau sudah tinggal dengan kakak Azam?"

Aku buru-buru memeluk dan mencium rambutnya dengan sayang. Jelas sekali dia tidak ingin berpisah denganku. 

Aku sadar pernikahan ini seakan menjadi beban bagi kami berdua. Tapi untuk membatalkan pernikahan di saat semua orang mulai sibuk bersiap-siap, rasanya tidak adil juga. 

Aku semakin gamang. 

Apakah aku tega menghancurkan kebahagiaan bunda, wanita yang selama ini menahan derita hanya demi anak-anaknya? Bunda tampak begitu bahagia mendapatkan calon menantu sholeh dan mapan. Aku sangat beruntung menjadi calon istri Azzam. 

Tiba-tiba dadaku seperti dihimpit. Aku dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama berat untuk kujalani.

Seandainya saja Azzam dan keluarganya tidak pernah datang melamar, dan bunda tidak harus melihatnya sebagai impian paling ditunggu oleh para gadis. Terus terang aku lebih suka hidup bersama mama dan adik-adikku saja.

Mungkin ini yang disebut trauma. Perasaan ngeri dan takut untuk berumah tangga.

Sebenarnya aku juga tidak ingat sejak kapan hal ini mengganggu perasaanku. Pemandangan menyedihkan yang terlalu sering kusaksikan dari pernikahan kedua orang tuaku, sepertinya telah melukai sisi batinku yang paling dalam. 

Seolah bunda dipertemukan dengan orang yang salah meski dia adalah ayahku sendiri.

Saat adikku Lisa meninggalkan kamar, aku segera menghubungi Karina. Aku mengetikkan pesan pada sahabatku itu, berkeluh kesah, dengan harapan mendapatkan titik terang yang bisa memantapkan hatiku.

"Hey, harusnya kamu bersyukur bisa menemukan jodohmu di usia sekarang. Insya Allah Azzam adalah laki-laki terbaik seperti yang diharapkan semua istri..." Karina terdengar ceria dan bersemangat.

Usiaku dan Karina memang terpaut lima tahun. Dan sampai sekarang belum ada tanda-tanda Karina akan menikah. Tidak heran kalau dari sudut pandang Karina, seharusnya aku menyambut gembira pernikahanku dengan Azzam.

Jika kita mensyukuri nikmat dari Allah, maka nikmat itu akan ditambahkan lagi. Begitu nasihat bunda sering-sering. Dan aku tahu bunda senantiasa berdoa untuk kedatangan hari bahagiaku ini. 

Bunda ingin aku mendapatkan jodoh yang terbaik, hidup bahagia dan tidak bernasib seperti apa yang dialami oleh bunda.

Tetapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi dengannya kelak. Saat ini posisi kaum perempuan masih sangat banyak yang memprihatinkan.

Ada yang memiliki suami tetapi menganggur saja dari waktu ke waktu. Mulai dari yang tidak punya banyak keterampilan sampai yang pilih-pilih kerja. Ada pula yang memiliki suami bekerja, tetapi justru pelit dan bersikap kasar kepada istrinya. 

 Ada pula suami yang awalnya baik dan penyayang, tetapi belakangan berubah menjadi peminum atau penjudi. Ada yang tega menikah lagi dengan alasan tidak dapat menolak takdir jatuh cinta lagi setelah menikah. Persis yang dialami bunda.

Sebenarnya, dengan pengalaman ini bunda jadi lebih bisa memberikan banyak bekal sejak jauh-jauh hari. Sebagai wanita tidak bekerja, bunda pun lebih leluasa menyampaikan nilai-nilai kehidupan kepadaku dan kedua adikku. Namun semuanya seperti belum cukup untuk membuatku berani menjadi pengantin.

Karina pernah membawaku untuk berkonsultasi dengan psikolog. Dan dari pertemuan dua jam itu, aku tetap saja pesimis menghadapi hari pernikahanku. 

Aku juga merutuki diri karena tidak bisa menolak lamaran Azam dan keluarganya bulan lalu. Aku tidak memiliki alasan yang tepat untuk mengecewakan mereka. Aku benar-benar merasa serba salah sekarang.

Belum hilang dari ingatanku bagaimana rasanya kehilangan sosok ayah saat Lisa masih bayi. Tiba-tiba saja ibu ingin menghilangkan nyawa bayi yang masih merah karena mendengar ayah menikah lagi dengan janda beranak dua.

Ibu mengalami baby blues tepat saat aku akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Saat itu pilihanku menjadi sulit. Ingin tetap konsentrasi pada sekolahku, atau membantu ibu yang sedang berada di titik terendah.

Ayah mulai terlihat tidak adil dalam membagi waktu dan perhatian. Bahkan saat adikku Sari mengalami diare berat dan harus opname di rumah sakit, ayah hanya mengirim uang dan sama sekali tidak pulang.

Keluarga kami nyaris hancur selama ayah mempunyai istri baru. Ternyata bukan hanya biaya kedua anak sambungnya yang harus ditanggung ayah, tetapi juga pengobatan ibu mertuanya yang mengalami stroke sebelum akhirnya meninggal dunia.

Aku, bunda dan kedua adikku sering kelaparan karena ayah sudah sangat jarang memberi kami uang. Ibu sudah malu berhutang pada tetangga, dan tidak dapat mencari pekerjaan karena harus mengurus Lisa yang masih kecil. 

Aku dan Sari jadi menunggak pembayaran uang sekolah. Padahal kami berdua sudah mencari uang dengan cara mengupas pisang muda. Kebetulan ada orang tua teman Sari yang mau menerima kami bekerja, dan memberikan upah ala kadarnya. 

*

Aku menitikkan air mata karena larut dalam kenangan masa lalu, sampai tak menyadari kehadiran bunda yang datang bersama perias pengantin.

Sesaat kemudian, keteguhan hati muncul diiringi tawakal.

Sebuah pesta pernikahan yang mungkin menjadi impian semua gadis, berada dalam genggamanku sekarang. Demikian bisik batinku.

Tidak seharusnya aku merubah kesepakatan kedua keluarga hanya karena rasa takut. Aku tak mau bersikap  kekanak-kanakan seperti itu. 

Bukankah Azzam adalah laki-laki pilihan yang terbaik menurut bunda? Kenapa aku harus merasa takut untuk hidup bersama dengannya?

Dan seandainya saja calon suamiku adalah orang yang mempunyai kemungkinan ke arah yang sama dengan ayah, atau kelak muncul tanda-tanda aku akan bernasib seperti bunda, toh aku masih punya pilihan untuk mengakhiri semuanya.

Bismillah, kulanjutkan pernikahan ini karena Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun