Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Sebuah Kafe pada Pukul Sepuluh Kemarin

6 Juli 2024   14:47 Diperbarui: 6 Juli 2024   14:55 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hubungan kita menjadi rumit ketika tiba-tiba ibuku datang dari rumah kami seminggu yang lalu. Memang setiap mertua sangat wajar jika ingin bertemu dengan menantunya, bahkan merindukan anaknya sendiri. Tetapi ibu melupakan bahwa aku dan Lusy cukup lama merindukan seorang anak di tengah-tengah kami.

Kau sendiri, merasa begitu kesepian sejak mamamu meninggal karena kanker ganas yang menyerangnya tiga tahun lalu. Kau melanjutkan hidup tanpa cukup gairah, seperti daun yang terlepas, lalu angin membawanya kesana kemari sebelum akhirnya bertemu denganku.

Meski laki-laki tak terlalu gemar mengingat sesuatu, namun aku belum melupakan pertemuan singkat di swalayan dekat kantorku ketika itu. Seorang wanita bertubuh mungil kesulitan menjangkau kardus pemanas air di rak paling atas. Saat kau berterima kasih, aku bahkan lupa menanyakan siapa namamu. 

Tetapi tanpa sengaja kita bertemu lagi di kafe atelier September  karena Lusy memintaku membawakannya kopi favoritnya.

Jadi, semua sudah diatur dan kita hanya menjalani peran kita di dunia. Tanpa perencanaan atau seseorang harus mengenalkan satu sama lain.

Dengan mudah aku menyadari bahwa kau bukan saja wanita yang menarik dan berhati baik, kau bahkan jauh lebih bijaksana dari Lusy. 

Kau bisa memaklumi bahwa kehadiran ibuku untuk melihat apakah anak dan menantunya baik-baik saja? Lagipula firasat seorang ibu semakin tajam saat menua. 

Aku hampir gila! 

Menurutmu, mungkin saja ibu mencium bau perselingkuhan di antara kita. Lalu apakah aku harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa, dan kita harus saling menjauhi untuk sementara waktu? 

Itu sangat konyol!

Dan sudah sepuluh bulan ini ibu sangat betah berada di tengah-tengah kami. Hubungan ibu dengan Lusy menjadi semakin sempurna, namun aku semakin enggan bertemu mereka di rumah.

Aku tahu, seorang wanita dapat menahan rindunya dengan sangat sabar, tetapi tidak denganku. 

Semakin lama waktu berlalu, aku menjadi semakin menderita. Aku ingin ibu pulang agar kita bebas bertemu seperti dulu.

Maka minggu pagi itu, sepulang berolahraga bersama Lusy, aku sengaja membuatkan ibu roti panggang dan mengobrol.

"Ibu, apakah ibu ingin aku dan Lusy memperbaiki beberapa bagian rumah kita? Mungkin mengganti warna catnya, atau mengganti model gazebo-nya?"

Sebenarnya aku tidak serius ingin melakukannya karena punya rencana lain denganmu. Aku ingin meninggalkan Lusy lalu menikah denganmu dan punya anak. Toh, aku dan Lusy sudah pernah membicarakan ini jauh sebelum kita bertemu.

"Terima kasih, Sayang, tapi ibu sudah menjual rumah kita. Ibu lupa bercerita padamu, ya?"

"Ibu tidak bercanda, kan?"

"Untuk itulah ibu kemari, karena kau satu-satunya anak ibu," sahut ibu tenang.

"Itu bagus, Sayang. Kita tidak perlu menunggu cuti atau libur tahun baru untuk menengok ibu. Kita bisa menjaga ibu dan sebaliknya ibu bisa menjagaku juga!"

"Tunggu. Apa kau mulai membutuhkan teman di rumah?"

Lusy dan ibu saling berpandangan dan melempar senyum.

"Tentu saja," sahut ibu.

"Kau selalu tidur awal sampai-sampai Lusy sulit menyampaikan berita gembira ini."

"Oya? Ayolah, aku tidak sabar ingin mendengarnya..."

*

Di sebuah kafe, pukul sepuluh kemarin, aku datang sesuai janji kita. Aku melihat kau menungguku dengan gelisah. 

Sungguh, aku bersalah dalam hal ini. Dan aku tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf. Bahkan dengan bunga yang kubawa, kau pasti akan tetap terluka.

Sudah sebulan kita tidak bertemu, dan pembicaraan lewat telepon pun tak lebih sepuluh menit.

"Syukurlah kau baik-baik saja, Sayang. Aku sangat tidak sabar sampai-sampai aku mengira terjadi sesuatu padamu..."Kau memelukku erat.

Aku terdiam.

"Aku punya kabar baik untukmu. Tapi kau bilang punya kabar buruk hari ini. Kalau begitu aku ingin kau yang lebih dulu mengatakan..."

"Lupakan saja. Aku tidak bisa mengatakannya."

"Kenapa tidak? Kau tahu aku sangat siap mendengarnya, kan?"

Aku menatap kedua matamu. Aku tidak dapat menyembunyikan hal ini lebih lama. 

"Hmm?"

"Aku dan Lusy akan segera punya bayi. Aku tidak dapat memenuhi janjiku yang dulu."

Air matamu tumpah, tanpa bisa mengatakan apa-apa lagi.

"Apa kau baik-baik saja? Bagaimana dengan kabar baiknya?"

Kau menyambar tas kecilmu, dan berlalu tanpa berusaha menjawab si pengecut ini.

***

Kota Kayu, 6 Juli 2024

Cerpen Ika Ayra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun