Dan sudah sepuluh bulan ini ibu sangat betah berada di tengah-tengah kami. Hubungan ibu dengan Lusy menjadi semakin sempurna, namun aku semakin enggan bertemu mereka di rumah.
Aku tahu, seorang wanita dapat menahan rindunya dengan sangat sabar, tetapi tidak denganku.Â
Semakin lama waktu berlalu, aku menjadi semakin menderita. Aku ingin ibu pulang agar kita bebas bertemu seperti dulu.
Maka minggu pagi itu, sepulang berolahraga bersama Lusy, aku sengaja membuatkan ibu roti panggang dan mengobrol.
"Ibu, apakah ibu ingin aku dan Lusy memperbaiki beberapa bagian rumah kita? Mungkin mengganti warna catnya, atau mengganti model gazebo-nya?"
Sebenarnya aku tidak serius ingin melakukannya karena punya rencana lain denganmu. Aku ingin meninggalkan Lusy lalu menikah denganmu dan punya anak. Toh, aku dan Lusy sudah pernah membicarakan ini jauh sebelum kita bertemu.
"Terima kasih, Sayang, tapi ibu sudah menjual rumah kita. Ibu lupa bercerita padamu, ya?"
"Ibu tidak bercanda, kan?"
"Untuk itulah ibu kemari, karena kau satu-satunya anak ibu," sahut ibu tenang.
"Itu bagus, Sayang. Kita tidak perlu menunggu cuti atau libur tahun baru untuk menengok ibu. Kita bisa menjaga ibu dan sebaliknya ibu bisa menjagaku juga!"
"Tunggu. Apa kau mulai membutuhkan teman di rumah?"