Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kupu-Kupu Biru di Jendela Kaca

29 Juni 2024   22:56 Diperbarui: 30 Juni 2024   00:10 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: J'vitacees dari Pinterest 

Laki-laki itu, yang rutin memarkirkan motor bututnya di bawah pohon delima, akhir-akhir ini tiba dengan terlambat. 

Saat tetangganya selesai menyapu daun-daun kering serta menyiram  tanaman, Sirajuddin masih belum menampakkan batang hidungnya. 

Sore terus meredup, dan selama dua bulan itu Sirajuddin belum kembali pada kebiasaannya yang lama.

Tetangganya begitu peduli akan nasib duda beranak satu itu. Tetapi lama-kelamaan rasa bosan menjangkiti seperti penyakit yang tiba-tiba datang. Malas juga dipikirkannya mengapa laki-laki itu selalu pulang saat kampung sudah sepi.

Sampai di suatu pagi, yang saat itu matahari terasa hangat di kulit Sirajuddin, tetangganya tertegun melihat kekurusan di balik kaos hitam berlogo contreng putih.

"Apa kabar, Mak?" laki-laki itu memelankan suaranya, khawatir membuat terkejut.

"Eh, kau rupanya!"

Laki-laki itu meraih tangan Mak Bollong dan menciumnya penuh takzim. Seandainya mamaknya masih hidup, usianya tak akan jauh berbeda.

"Kemana saja, kau tak pernah kelihatan?"

Sirajuddin mengisap rokoknya dalam-dalam, sebelum membuang muka mengembuskan asap putih ke lain arah.

"Aku bertemu anakku, Mak. Tapi dia tidak mengenaliku sama sekali."

"Maksudmu si Yasmin? Di mana kau melihat dia?"

*

Laki-laki itu, yang sehari-harinya wara-wiri  di sekitar pasar Masomba, tiba-tiba terpaku. 

Sejenak dilupakannya calon penumpang yang keluar dari gerbang membawa barang belanjaan. Dengan cepat si Dullah menyambutnya dan membantu naik ke atas dokar.

"Yasmin! Yasmin!!"

Seorang gadis remaja yang sedang menikmati es blender dalam gelas plastik, menoleh sekilas. Tapi kemudian kembali menenggelamkan dirinya pada ponsel di tangannya.

Seketika mata Sirajuddin memancarkan semangat hidupnya. Rindu yang lama disembunyikan di bawah tulang rusuk, kini tak kuasa lagi ditutupinya. Hampir sepuluh tahun lamanya Sirajuddin tak bertemu anak semata wayangnya.

Laki-laki itu mendekat perlahan. Diamatinya gadis yang kini hanya tinggal beberapa langkah lagi di depannya.

Benar saja. Gadis itu memiliki postur tubuh yang tinggi seperti Sirajuddin. Kulitnya juga, cenderung gelap meski tampak cukup terawat.

Tetapi laki-laki itu tak sepenuhnya dapat melihat wajah Yasmin. Gadis itu duduk dan menunduk memperhatikan benda di tangannya. Wajahnya dibalut kerudung pashmina hitam yang ditutupi pet hitam di atas kepalanya. 

Sirajuddin mengawasi sekali lagi. 

Dicobanya mengingat-ingat wajah Yasmin saat dirinya bercerai dengan Aning. 

Hidung di bawah bingkai kacamata pink itu, sama dengan milik mantan istrinya yang dulu dia ceraikan. Begitu juga jari-jari panjangnya di belakang ponselnya.  

Tiba-tiba saja Sirajuddin sudah memikirkan Aning. Terakhir kali mereka bertemu saat Aning memberi kabar akan menikah. Kira-kira delapan tahun yang lalu.

Diam-diam perasaan menyesal menyelimuti hati Sirajuddin. Baru dia tahu wanita yang menggodanya hanya ingin hidup senang. 

*

"Jadi, dia bukan Yasmin anakmu?" Mak Bollong turut prihatin dengan nasib Sirajuddin.Tak lama setelah bercerai dan menikahi wanita lagi, usaha Sirajuddin bangkrut dan mobilnya terjual. 

Sekarang setelah dua bulan Sirajuddin membuntuti gadis itu, tidak juga dia mendapatkan hasil. 

Bagaimana mungkin Sirajuddin membuang waktu untuk mencari tahu tentang gadis itu? 

Kemana dia pulang, apa saja kegiatannya, bahkan Sirajuddin sampai rela mangkal di depan tempat kerjanya. Namun gadis itu tak sekali pun menumpangi dokarnya. 

Seorang laki-laki yang mungkin ayah sambungnya, selalu datang menjemput tepat waktu.

"Aku yakin dia anakku, Mak. Aku melihat kalung yang pernah kubeli untuk Aning. Yasmin memakai kalung itu dan dia sangat cantik!"

Sirajuddin sempat memperhatikan kalung panjang dengan liontin kristal di dada gadis itu. Sweater abu yang dikenakannya membuat pantulan cahaya yang menarik perhatiannya.

Sirajuddin sempat menyapanya namun gadis itu tak terlalu banyak bicara. Ketika angkot yang ditunggunya datang, gadis itu pun berlalu.

"Kalung?"

Laki-laki itu masygul melihat ekspresi tetangganya. Bagaimana cara meyakinkan Mak Bollong bahwa kalung itu hanya Aning yang memilikinya. Dia memesan khusus di toko emas, jadi tidak mungkin sama dengan orang lain.

Sirajuddin terduduk lesu di bangku kayu di bawah pohon mangga. Mak Bollong sudah pamit mau menjemput cucunya yang kelas satu SD. Sudah dua minggu anak lelaki Mak Bollong ikut proyek di luar kota. Jadilah Mak Bollong yang mengantar-jemput cucunya sekolah. 

Matahari semakin meninggi. 

Sirajuddin melihat bayangan pohon mangga dengan jelas di permukaan tanah. Laki-laki itu memutuskan libur membawa dokar untuk sementara karena merasa kurang sehat.

Dikeluarkannya dompet usang dari kantong belakang celananya. Ditatapnya sebentuk foto lama yang mulai lembab di balik plastik dompet. Foto Yasmin saat masih kecil dengan matanya yang sipit seperti matanya.

Pelan-pelan mata laki-laki itu menghangat menahan tangis. 

Sirajuddin benar-benar tak punya bukti kalau gadis yang dilihatnya dekat pasar Masomba itu memanglah Yasmin. Dan tentu akan terasa aneh kalau tiba-tiba dia ingin memeluk gadis itu di tempat umum.

Kali ini Sirajuddin sungguh-sungguh menangis. Dia sadar apa yang sudah terjadi sepuluh tahun ini. 

Aning terpaksa pulang ke rumah orang tuanya dengan membawa Yasmin. Mereka hidup sederhana di sana sementara Sirajuddin menikah dengan wanita selingkuhannya.

Selama itu, tak sekali pun dia menemui mantan istrinya untuk sekedar menitipkan biaya untuk Yasmin. Sirajuddin benar-benar menutup mata untuk mereka berdua. 

Dan ketika akhirnya kehidupannya berbalik seratus delapan puluh derajat, Sirajuddin pun merasa malu untuk mencari istri dan anaknya. 

*

Sirajuddin sudah gila! 

Begitu berita yang beredar akhir-akhir ini. Untuk membuktikan kebenarannya, satu per satu tetangga menjenguknya sambil membawakannya makanan. 

Bisik-bisik kemudian mengusulkan agar Sirajuddin dibawa ke rumah sakit jiwa untuk mendapat perawatan. Khawatir kalau-kalau bertambah parah justru akan membahayakan warga lainnya.

Namun ada juga yang mengusulkan untuk mencari Aning dan Yasmin. Toh, mereka berdua lah yang sebenarnya sangat dirindukan Sirajuddin.

Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. 

Tak terasa sudah enam bulan berlalu sejak warga sepakat mencari di mana Aning dan Yasmin saat ini.

Utusan yang dikirim ke kampung orang tua Aning, hanya mendapatkan kabar bahwa orang tua Aning telah tiada. Aning dan Yasmin tidak ada di sana.

Warga pun akhirnya menyerah, setelah sempat mengumumkan berita pencarian orang di radio-radio lokal. Terlalu banyak waktu yang digunakan namun tak satupun yang membuahkan hasil. 

Maka dengan berat hati, pada hari ini Sirajuddin akan dijemput petugas rumah sakit jiwa. Diharapkan nantinya Sirajuddin bisa lebih menemukan ketenangan di sana. 

Dan rumah yang tersisa sebagai satu-satunya milik laki-laki itu, akan segera berpindah tangan. Hasil penjualan tersebut digunakan untuk membiayai pengobatan Sirajuddin.

Mak Bollong menangis melihat tetangganya meronta saat petugas memasukkan Sirajuddin ke mobil. Ada kesedihan dan perasaan tak tega, namun ini merupakan solusi terakhir.

Sesaat setelah semua orang kembali ke rumah masing-masing, Mak Bollong mengunci pintu sampai pemilik yang baru itu datang.

Sejenak wanita itu tertegun, demi menyaksikan banyak kupu-kupu biru yang tiba-tiba muncul entah dari arah mana. Kupu-kupu itu terperangkap di dalam rumah, seperti ingin menembus jendela kaca yang tertutup.

***

Kota Kayu, 29 Juni 2024

Ika Ayra, senang menulis cerpen.

Foto: dokumen pribadi 
Foto: dokumen pribadi 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun