Aku sendiri tak yakin suamiku sudah merelakan peristiwa ini. Mungkin dia hanya berpura-pura kuat di deoanku, sementara di dalam tidur dia bermimpi bayi kami.
Setidaknya aku pernah menemukan Sunny terbangun dengan keringat di wajahnya. Saat aku bertanya ada apa, dia menyembunyikannya dan mengajakku kembali tidur.
Kami berdua tidak dapat melupakan penderitaan bayi Erika selama dirawat di rumah sakit. Aku bahkan berkali-kali tak sadarkan diri, Â sedangkan Sunny tidak tidur sepanjang malam.Â
Sayang kami tidak dapat bertukar tempat dengan bayi kami. Kami merasa gagal melindungi bayi mungil yang selama enam tahun kami idamkan.Â
"Selamat pagi, Jesika..." sapa seseorang yang sudah berdiri di depanku. Aku mengamatinya, sembari dia tersenyum dan wajahnya memunculkan kenangan lama.
Aku tidak ingat benar, kapan dan dimana kenangan itu. Tapi aku bisa merasakan aroma kebahagiaan layaknya orang jatuh hati.
"Sam?" aku tak percaya dia begitu nyata. Apakah aku benar-benar bertemu mantan tunanganku?
Tidak. Mungkin pikiranku begitu lelah dan semua yang tersimpan dari bawah sadar muncul begitu saja.Â
"Apa kabarmu, sampai kau terlihat murung dan berdiri begitu lama di sini?" tanyanya lagi. Itu Sam. Ya, aku mengenal suaranya dengan baik. Juga senyumnya.
Kurasakan pipiku menghangat, dan jantungku berpacu. Aku tidak sedang bermimpi. Sam benar-benar nyata kali ini!
Dulu, aku mencintai Sam melebihi apapun. Dan Sam juga mencintaiku setengah mati.