Namanya Julia, sahabatku sejak kami SMU sampai duduk di bangku kuliah. Kami memiliki banyak kesamaan, hingga pada akhirnya memilih jurusan yang sama pula di sebuah perguruan tinggi.
Aku nyaman berlama-lama menghabiskan waktu bersama Julia. Selain menarik, dia juga cantik dan baik hati. Siapa sangka, persahabatan kami dihadapkan pada ujian yang cukup berat.
*
Seperti kata pepatah, dalamnya laut dapat diduga, dalamnya hati tiada yang tahu.Â
Julia tidak pernah sekali pun bercerita tentang lelaki yang menjadi suaminya sekarang. Aku pun tak pernah jujur sedang menyukai dosen kami.
Aku dan Julia sering duduk bersama, ngobrol apa saja sembari menikmati camilan yang ada. Seringkali sambil menyelesaikan tugas, hingga tak sadar hari mulai sore.
Kadang aku berpikir mengapa aku bisa berganti-ganti teman, tetapi dengan Julia tidak. Aku langsung menandai jika ada teman yang penuh kepura-puraan, atau teman yang datang hanya di waktu senang. Aku tidak akan segan-segan meninggalkan mereka, sementara Julia lebih santai menghadapi tipe seperti mereka.
Bagiku, persahabatan itu seperti telaga yang airnya jernih dan sejuk untuk diminum musafir nan lalu. Tidak semua tempat akan menjadi telaga, dan tidak semua mata air mau memancar ke dalamnya.
Artinya, tidak semua orang bisa menjadi sahabatmu, lalu memberi manfaat dan tidak menyakitimu. Hanya orang pilihan dan orang dengan kualifikasi terbaik yang akan menjadi sahabat sejatimu.
Aku menemukan semua itu ada pada Julia. Teman yang tak pernah iri, dan tak pernah menuntut sesuatu yang tidak bisa kau berikan.
Misalnya, suatu hari kami memutuskan sepulang kuliah jalan-jalan sore ke sebuah mall meski tak banyak uang di kantong kami. Bukan muter-muter tanpa tujuan, karena tujuan kami adalah melepaskan penat dan lelah.
Cukup lama kami mengitari lantai dua yang kebanyakan menyediakan baju wanita dan anak-anak. Aku dan Julia lanjut menaiki tangga berjalan dan memasuki toko sepatu yang pada hari itu menawarkan diskon besar.
Aku melihat mata Julia tiba-tiba terpaku pada sepasang sepatu abu-abu dengan dua garis oranye di sisi luarnya. Dia tidak menyentuhnya dengan tangan tetapi wajahnya menekuri setiap detil yang ada.
"Kenapa? Suka dengan sepatu itu?" akhirnya aku bertanya dan menurunkannya dari rak kaca.
Aku menimang-nimang sepatu berukuran empat puluh dua itu dan merasakan kualitas dari bobotnya.
"Sepatu ini memang keren!" aku menyodorkan kepada Julia tapi dia bergeming.
"Lupakan saja. Sepatu ini tidak termasuk dalam diskon!"
Aku mengamati merk dan prize-nya. Wow, mataku terbelalak.
"Kita pergi saja."
Aku pun meninggalkan sepatu itu di tempatnya dan berjalan mengikuti kemana Julia melangkah.
Ke sebuah kafetaria di lantai empat. Ini lebih cocok untuk kami. Perut lapar dan perasaan haus tidak akan membuat pikiran rasional. Jadi jangan belanja kalau kau belum menikmati secangkir kopi tanpa krimer dan corndog cokelat yang lembut.
"Boleh aku bertanya?" kataku demi melihat wajah Julia murung kelabu.
"Sepertinya Tuanku sangat ingin membeli sepatu itu. Boleh hamba tahu untuk siapakah gerangan?"
Sontak dia tertawa melihat gaya yang kubuat-buat layaknya seorang putri zaman antah berantah.
Begitulah. Semudah itu kami merawat persahabatan. Dengan saling peduli dan saling menguatkan. Jika aku tak punya cukup uang untuk membantunya memiliki sepatu itu, setidaknya aku masih bisa menghibur hatinya. Dan sebaliknya.
Sampai suatu hari Julia izin tidak masuk kuliah untuk beberapa waktu. Kebetulan nenek Julia di kampung meninggal dunia. Kupikir sahabatku itu ingin melaksanakan tahlilan bersama keluarga besarnya. Saat aku mencoba menelepon dan mengirim pesan whatsapp, terlihat nomor ponselnya tidak aktif.Â
Terus terang aku merasa kehilangan. Aneh dan canggung rasanya karena selama ini aku terbiasa sekedar say hello dengan yang lainnya. Aku selalu bersama Julia kapan pun itu. Kini dia menghilang tanpa menghubungiku sama sekali.
Saat aku bertanya pada ibu kos, aku justru mendapat jawaban yang membingungkan. Julia pindah kos secara tiba-tiba dan membawa barang-barangnya saat aku masih ada di kampus. Julia bolos pada hari itu.
Saat aku bertanya alasan kepindahannya, ibu kos balik bertanya, "Ngga tahu ya, kalau Neng Julia ingin menikah?"
"Menikah?" aku garuk-garuk kepala tak habis pikir.
"Neng Julia juga bilang dia cuti dulu satu semester karena ingin berbulan madu."
"Kok dia ngga cerita?" aku bertambah puyeng.
"Yah, nanti saja diobrolin kalau Neng Julia sudah bisa ditelepon. Permisi dulu, ya Neng Jessy. Ibu banyak kerjaan...."
Aku menghempaskan tubuhku di kursi. Seribu pertanyaan berkecamuk di benakku. Mengapa sahabat seperti Julia melakukan ini semua? Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah dia sudah tidak menganggap aku sebagai sahabatnya?
Kamar kami hanya dipisahkan oleh satu kamar lainnya. Paling tidak dia bisa memberitahuku kalau ingin mencari kos dengan fasilitas lebih baik. Aku tidak akan ragu untuk mengikutinya asalkan persahabatan kami tidak dipisahkan oleh jarak yang mungkin tak seberapa. Atau apakah dia mengalami semacam teror yang membuatnya harus pergi?
*
Aku sengaja datang lebih awal dan memilih meja dekat jemdela untuk menunggu Julia. Akhirnya gadis itu menghubungiku dan kami akan bertemu pada hari ini.
Tadi pagi aku bangun pagi-pagi sekali dan mencari sarapan nasi uduk dan telor asin tak jauh dari salon rambut langgananku.Â
Kepada Nency aku meminta agar rambutku di-treatment dan ditata seindah mungkin. Riasan wajahku juga harus segar agar aku bisa menguatkan Julia dengan aura yang memberi semangat.
Aku tahu hari ini akan menjadi hari yang istimewa. Itu sebabnya aku harus menyiapkan diri. Aku juga siap mendengar cerita apapun dari sahabatku. Kemana saja dia selama ini dan mengapa tak menghubungiku barang satu huruf pun.
"Jessy...." sebuah suara yang familiar membuatku menoleh seketika.
Julia merentangkan tangannya dan aku meninggalkan kursiku, menghambur ke pelukannya. Betapa rindunya pada sosok cantik Julia. Aku bahkan membuat skets wajahnya dalam buku harianku. Berbagai cerita persahabatan kami juga kutuliskan di sana.
Saat Julia melepaskan pelukannya, tetlihat air mata berderaian di wajahnya. Dia menangis dan kembali memelukku. Kali ini begitu hangat dan erat.Â
Aku membiarkan dia berlama-lama begitu dan terisak untuk menuntaskan semuanya. Anehnya, aku tak sesedih itu meski aku sangat kehilangan Julia selama satu semester ini.
Akhirnya dia melepaskan pelukannya dan mengajakku duduk. Aku segera memesan kopi tanpa krimer untuk Julia seperti biasanya.
"Emm, aku tidak minum kopi. Pesan cokelat panas saja dan roti selei," katanya kepada penjaga.Â
Kami saling pandang untuk beberapa lama, sebelum dia menyeka wajahnya dengan sapu tangan yang kusodorkan.
"Kau cantik sekali, lebih cantik dari yang sebelumnya," Julia memujiku tulus, seperti yang biasa dia lakukan.
"Kau juga. Hanya..., sedikit lebih langsing, seingatku."
"Aku hamil, Jessy. Itu sebabnya aku ngga minta kopi."
"Benarkah? Selamat kalau begitu. Apakah aku akan segera menjadi 'tante'? Tante Jessy!"
"Iya, Jessy. Aku berharap bayi kami perempuan. Dan kau akan punya keponakan yang rambutnya lucu..."
Semudah itu, kami saling tertawa seperti dulu. Saling memahami, dan ingin membahagiakan yang lainnya.Â
Sampai di menit kesekian, Julia akhirnya berterus terang siapa orang yang menjadi suaminya. Hal yang sebelumnya ditutup-tutupi dariku.
"Jessy aku minta maaf lahir dan batin ya, dari lubuk hati terdalam, aku mengaku salah."
Aku sedikit terkejut mendengar perkataannya yang serius.
"Aku pernah tak sengaja membaca buku harianmu. Dari sana aku tahu ternyata kau menyimpan perasaan kepada dosen kita, Mas Nugroho, orang yang menjadi suamiku sekarang."
Aku terperanjat kaget.
"Dan aku sahabat yang kejam. Aku meninggalkanmu demi menikah dengan Mas Nugroho. Aku juga mencintainya, Jessy...."
Apa? Jantungku seperti terlepas dari tempatnya. Jadi aku dan Julia mencintai orang yang sama? Ya Tuhan, apa yang harus hamba lakukan?
Cukup lama aku terdiam, dan menyadari bahwa perasaanku memang bertepuk sebelah tangan. Dosen ganteng itu tak pernah mencintaiku. Sakit memang.
"Jessy?"
"Julia, kau tenang saja. Mungkin kami tidak berjodoh. Mas Nugroho tidak pernah memberikan respon apapun. Aku ikhlas kau menikah dengannya. Aku akan mengubur dia dalam-dalam. Kau tetap sahabatku. Percayalah!"
Dan genggaman tangan Julia begitu erat menghangatkanku.
***
Kota Kayu, 13 Oktober 2023
Ika Ayra, senang menulis cerpenÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H