Aku membiarkan dia berlama-lama begitu dan terisak untuk menuntaskan semuanya. Anehnya, aku tak sesedih itu meski aku sangat kehilangan Julia selama satu semester ini.
Akhirnya dia melepaskan pelukannya dan mengajakku duduk. Aku segera memesan kopi tanpa krimer untuk Julia seperti biasanya.
"Emm, aku tidak minum kopi. Pesan cokelat panas saja dan roti selei," katanya kepada penjaga.Â
Kami saling pandang untuk beberapa lama, sebelum dia menyeka wajahnya dengan sapu tangan yang kusodorkan.
"Kau cantik sekali, lebih cantik dari yang sebelumnya," Julia memujiku tulus, seperti yang biasa dia lakukan.
"Kau juga. Hanya..., sedikit lebih langsing, seingatku."
"Aku hamil, Jessy. Itu sebabnya aku ngga minta kopi."
"Benarkah? Selamat kalau begitu. Apakah aku akan segera menjadi 'tante'? Tante Jessy!"
"Iya, Jessy. Aku berharap bayi kami perempuan. Dan kau akan punya keponakan yang rambutnya lucu..."
Semudah itu, kami saling tertawa seperti dulu. Saling memahami, dan ingin membahagiakan yang lainnya.Â
Sampai di menit kesekian, Julia akhirnya berterus terang siapa orang yang menjadi suaminya. Hal yang sebelumnya ditutup-tutupi dariku.