Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Bungkusan Misterius di Saku Baju Nyonya Karren

10 September 2023   07:56 Diperbarui: 12 September 2023   00:15 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Memasak di dapur. (Sumber: Pixabay/Jeanette Atherton)

Nyonya Karren, ibu mertuaku, mendadak terkulai ke lantai di bawah kursinya, saat sedang makan siang. Aku pun terloncat kaget, sebelum menyeret tubuh gemuknya ke sofa.

"Ibu tiba-tiba pingsan," aku menelepon suamiku.

"Apa ibu sakit?"

"Kurasa tidak."

"Baiklah. Tunggu aku, kita bawa ibu ke rumah sakit."

Aku menutup telepon, lalu menyiapkan beberapa keperluan.

Ini sangat aneh. Aku yakin tadi pagi ibu masih sehat. Ibu terlihat menyirami bibit ketimun yang mulai tumbuh di balkon kamarnya. Selebihnya ibu asyik merajut jaket untuk Clay, putri kami.

"Apa ibu makan sesuatu yang dilarang dokter?" tanya suamiku dalam perjalanan ke rumah sakit.

"Bagaimana dengan keripik kentang asin? Camilan yang mengandung tinggi natrium dan tinggi lemak. Tolong, ini berbahaya untuk tekanan darah dan kesehatan jantung lansia."

"Tapi Sayang, sudah lama sekali aku tidak membeli keripik kentang."

"Ibu alergi udang. Apa ibu makan udang?" suamiku mendesak lagi.

"Apakah semua memang harus berawal dari makanan?" kataku muak.

*

Ini adalah hari yang buruk.

Baru saja menemani nyonya Karren di ruang perawatan intensif, aku mendapat panggilan telepon dan harus segera pulang ke rumah.

Belum lagi si kecil yang sedikit rewel sejak semalam. Mungkin Clay akan tumbuh gigi sebab dia juga mulai demam.

Sesampainya di rumah, aku disambut beberapa polisi yang membuat perasaanku bertambah gugup.

Kupikir mereka akan membahas tentang adikku yang akhir-akhir ini kecanduan obat terlarang. Kami mengajak Joe tinggal bersama karena ayah meninggal dan dia hanya sendirian di sana. Aku sama sekali tidak menyangka dia justru akan membawa masalah.

"Maaf Nyonya, kami ingin memeriksa sisa masakan Anda hari ini. Tolong antar kami ke dapur!"

Jadi ini bukan tentang Joe? Syukurlah. Namun tetap saja di rumah ini ada masalah. Huh!

Mau tidak mau aku menuruti polisi itu sambil menduga-duga apakah ini ada hubungannya dengan ibu mertuaku.

Polisi itu sibuk memeriksa, memotret, dan mencatat sesuatu.

Aku benar-benar tak habis pikir. Dan pikiranku bertambah kacau saat si kecil terbangun dan menangis. 

*

Aku sulit sekali memejamkan mata. Di belakang punggungku, suamiku juga sedang berpikir keras. 

Bagi suamiku, ibunya adalah wanita yang sangat berharga. Selain nyonya Karren sangat menyayanginya, dia juga selalu bersikap baik kepada siapa saja. 

"Sayang, kapan hasil laboratorium itu keluar?" aku membalikkan badan dan menyentuh rambutnya.

"Besok. Dan orang yang tega menyakiti ibu akan menyesal!"

"Apa maksudmu?" 

"Julia, bisakah kau jelaskan alasan kau menolak saat aku ingin memanggil perawat waktu itu?"

"Apa?" alisku semakin bertaut, tapi aku mencoba mengingat-ingat.

Mengurus Clay dan ibu dalam waktu bersamaan, pasti akan merepotkan. Itu senabnya suamiku ingin mendatangkan perawat khusus lansia untuk mengurus keperluan ibu.

Sebaliknya, aku yakin Joe bisa membantuku dan ini akan mengendalikan pengeluaran kami.

"Sebab ibu masih sehat dan dapat melakulan kegiatan pribadinya sendiri. Apa kau masih mempermasalahkannya, Sayang?" sahutku.

"Maksudku, perawat akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu dengan ibu."

"Oh ayolah. Kita pun bisa jatuh sakit secara mendadak, bukan?" 

*

Suasana rumah menjadi tegang belakangan ini. Sebagai seorang istri aku tidak ingin mengabaikan kondisi mental suamiku. Dia pasti sangat terpukul dan tidak siap.

Dan benar saja. 

Saat dokter kemudian memberitahu nyonya Karren tidak bisa diselamatkan, suamiku mengamuk seperti orang tidak waras.

Polisi menambah masalah dengan penyelidikan siapa saja orang yang bersama ibu sebelumnya. Dan orang pertama yang dicurigai adalah aku.

"Apa Anda punya masalah dengan nyonya Karren?"

"Tidak!" aku menggeleng.

"Atau ada orang lain yang Anda ketahui tidak menyukai ibu mertua Anda?"

"Entahlah."

"Bagaimana hubungan dengan anak-anaknya?"

"Ibu mertua saya adalah orang yang sangat baik, Pak. Saya rasa nyonya Karren tidak mempunyai musuh, apalagi kalau itu adalah anaknya!"

Polisi itu tampak berbisik-bisik dengan rekannya, sebelum kemudian mengizinkanku pergi.

Terus terang aku merasa bosan dengan pertanyaan-pertanyaan tadi. Apakah jika seseorang mendapat kemalangan, artinya ada orang lain yang menginginkannya? Ini sangat tidak masuk akal!

Aku ingat saat ayahku meninggal tepat pada jam dua malam. Dokter mengatakan dia kesulitan bernapas dan ini memang ada hubungannya dengan riwayat penyakitnya.

Saat itu aku sama sekali tidak melemparkan tuduhan kepada Joe. Aku rasa adikku tidak mungkin mengabaikan kesehatan ayah. Kebetulan ayah tidak mempunyai harta untuk ditinggalkan. Lalu bagaimana kalau ayah mempunyai banyak sekali warisan, apakah Joe otomatis dianggap sengaja membunuh ayah? Omong kosong!

*

Dua hari setelah pemakaman nyonya Karren, aku mengurung diri di kamar tanpa Clay. 

Suamiku meminta Joe membawa putri kami untuk diurus sementara oleh adik bungsunya dan juga Joe di luar kota. Dia mengira aku butuh waktu untuk sendirian dan menangis. 

Tidak. Aku hanya tidak ingin semua menjadi berlarut-larut. Kematian nyonya Karren akan menyulitkan beberapa orang jika aku tidak segera memecahkan masalah ini.

Pertama, dia adalah Nancy, sepupu nyonya Karren yang minum teh pada sore sebelumnya. Selain membawakan beberapa gulung benang wol untuk merajut, seperti biasa mereka berbincang-bincang tentang alasan Nancy belum juga menikah. Aku memang tidak mendengar semuanya tapi kurasa tidak ada yang aneh.

Kedua, Suster Marry yang datang pukul sepuluh dan membawakannya karangan bunga. Ini juga bukan hal yang aneh karena Suster Marry senang mengunjungi lansia sambil membagikan roti cokelat hasil donasi.

Orang ketiga adalah Joe, yang membawakan kue kismis dan kopi. 

Tunggu, kopi?

Bukankah nyonya Karren tidak disarankan mengonsumsi kafein dan gula yang melampaui takaran?

"Gula maksimum empat sendok makan (50 gram per hari), garam maksimum satu sendok teh (2 gram per hari)"

Aku membaca kembali peraturan yang dicetak kertas dan ditempel di dinding ruang makan.

"Jadi adikmu itu memberi kopi untuk ibu?" suamiku membentak.

"Sayang, aku memang melihat Joe membawa cangkir kopi dan duduk bersama ibu saat merajut jaket untuk Clay. Tapi mungkin saja Joe yang meminum kopi itu, bukan?"

"Aku selalu berusaha berpikir bahwa kau juga mencintai ibuku. Tapi lihat bagaimana kau berusaha membela adikmu saat ibu sudah..."

Suamiku menangis. Aku menjadi serba salah dan kasihan kepadanya. 

Aku harus menelepon Joe untuk menanyakan masalah ini. Tapi bukankah hari ini dia akan pulang bersama Clay? Sebaiknya kutunggu saja.

Aku yakin ini adalah pertama kali dalam sepekan nyonya Karren meminta kopi. Itu kalau dia meminumnya dan bukan adikku. Lansia boleh minum kopi tetapi tidak terlalu manis dan juga tidak sangat sering.

Aku beranjak ke kamar ibu dan membiarkan suamiku sendirian. Dia butuh menenangkan dirinya sampai Joe memberikan keterangannya nanti.

Aku mengeluarkan barang-barang dari rumah sakit yang belum sempat kuurus karena jenazah ibu akan segera dikebumikan. Dan saat aku memasukkan pakaian ibu ke mesin cuci, aku menemukan sesuatu dalam saku baju yang dikenakan eaktu itu. Sebuah bungkusan.

Aku mengira ini adalah lipatan kertas berisi desain berikutnya untuk Clay. Ibu selalu menggambar modelnya sebelum mulai merajut.

Tidak, ini bukan gambar. Ini sebuah surat.

Aku buru-buru membaca tulisan tangan nyonya Karren yang hurufnya terlihat agak membingungkan.

"Kau adalah puteraku. Jika ingin menikahi wanita lain, maka kau akan kehilangan ibumu ini."

Aku mengulang membaca beberapa kali. Tapi sampai kepalaku sakit, aku tetap sulit memahami maksud nyonya Karren dengan tulisan itu.

***

Ika Ayra, ibu rumah tangga yang suka menulis cerpen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun