"Kau tahu, sudah lama aku ingin kita duduk berdua sebagai pasangan romantis. Mengisi liburan semester dengan berkemah, sambil menyaksikan bulan dan bintang tanpa berdebat seperti biasanya," katanya panjang lebar, lalu menggigit biskuit beraroma kismis.Â
Aku meneguk setengah minumanku sambil menatapnya. Anya benar juga.Â
Jika kami selalu berdebat, bagaimana kami bisa berada dalam roket yang sama dan menyelesaikan sebuah misi?
"Kita akan ke bulan setelah kita menikah," kataku serius.
"Hey, apa kau sudah gila!" Anya mengerjab beberapa kali seolah ingin meyakinkan orang di depannya masih Kim, si kepala Dream Squad, kelompok pemimpi.
"Ini bukan omong kosong. Kita sudah menyaksikan milky way dan gerhana matahari dari bumi saja. Apa enaknya mempelajari semua teori antariksa di kampus. Kita harus benar-benar ke bulan."
"Aku tak ingin mempercayaimu karena aku pun tidak tahu dengan apa kita bisa sampai di bulan. Percayalah ini sangat konyol"
"Pekan depan aku akan mengikuti olimpiade agar mereka mulai memerhatikan namaku."
"Lalu?"
"Lalu aku akan mendapatkan impianku. Kau lihat saja nanti!" kataku berapi-api.
Saat aku menggigit tiga keping biskuit sekaligus, Anya cemberut dan mengalihkan tatapannya ke tengah laut.Â