Dia terlihat keren saat menggerakkan tangannya dengan semangat menjelaskan sesuatu. Bibirnya juga tidak berhenti mengoceh tentang apapun.
Berkali-kali aku terlibat perdebatan dengannya sampai orang di sekitar kami menggeleng keheranan. Mungkin mereka merasa muak, tetapi aku merasa kami sama-sama keras kepala.Â
Hampir tiga semester, dan interaksi seperti ini akhirnya mendorong kami resmi berpacaran.
Ini adalah langkah yang sangat penting. Jadi aku memilihnya bukan karena aku playboy seperti yang orang-orang pikirkan.Â
Aku menganggap Anya jauh lebih menarik dari gadis-gadis lainnya yang kudekati. Aku ingin kami menjadi pasangan astronot suatu hari nanti!
"Kau melamun?" Anya menepuk bahuku.Â
Aku tersenyum, tapi tak memberitahunya tentang pikiranku.
"Mau cokelat panas tanpa malt?"
"Itu tak mungkin enak."
"Siapa bilang? Coba ini. Aku kuga membawa sekotak biskuit yang cocok."
Hmm, benar juga. Untung saja aku belum mengatakan kalau seleranya payah.