Anak keduaku, Na'ima, kuantar ke sekolah dasar dekat tempatku berjualan. Sementara sang kakak, Maryam, kuantar ke madrasah tsanawiyah, lurus searah namun satu kilometer lebih jauh.
Setelah Maryam masuk gerbang madrasah, aku balik arah menjemput Zarra yang sudah berdiri menunggu di depan rumahnya. Kami menempuh jalan dua kilometer sebelum berpisah di depan kelasnya. Untungnya tempat tinggalku hanya sepuluh menit dari sana.Â
Setelahnya, aku bersiap-siap membuka jualan, sambil menunggu jam pulang masing-masing. Zarra pukul 10.00, Na'ima pukul 11.50, dan Maryam pukul 13.20.
Satu hal yang patut kusyukuri, meski kendaraan roda dua yang kumiliki tergolong cukup tua, namun bisa kugunakan dengan lancar, dan selalu ada pemasukan lebih untuk membeli BBM. Alhamdulillah.
Aku menjadi agak tetkejut ketika di tahun ketiga, bapak Zarra datang menemuiku dan mengatakan akan mengambil alih urusan mengantar-jemput.Â
Dia berterima kasih karena Zarra terlihat lebih bahagia dan selalu mendapat nilai yang baik di madrasah tempatnya belajar.Â
Tak terasa air mataku mengalir di hadapan laki-laki itu. Aku merasa sangat terharu membayangkan perpisahan dengan gadis kecilku, Zarra.Â
Mungkin setelah ini aku akan jarang melihat dia lagi. Matanya yang jenaka, dan bibir tipisnya yang tersenyum setiap kali diajak mengobrol. Aku pasti akan merindukan gadis itu.
Zarra adalah anak baik, dan aku tahu itu sejak awal.Â
Sekarang saja dia hampir tidak menemui teman-temannya karena sibuk dengan PR-nya. Juga jadi jarang jajan es choco cookies kesukaannya. Lalu jika aku tidak mengantar-jemput dia lagi, tentu aku akan sangat jarang bertemu dengannya.Â
Kemudian aku sadar, bukankah sebaiknya memang seperti ini? Bapak Zarra melakukan kewajibannya sebagai orang tua untuk mendukung dan memperhatikan anaknya; sekaligus berhak  menikmati kebersamaan dengan anak bungsunya sendiri.