Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berita yang Sulit Dilaporkan

3 November 2022   09:24 Diperbarui: 3 November 2022   09:28 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
businessinsider.com

Aku terus memasang mataku, mengawasi gadis itu. Sepanjang hari dia membuang waktunya untuk hal-hal yang tidak kumengerti. Benar-benar pekerjaan yang menjemukan.

Tapi waktu lima tahun tidak sedikit juga. Aku selalu mengerjakan apa saja untuk Pak Alex, ayahnya. Sepertinya aku sudah ditakdirkan, aku tidak dapat keluar dari lingkaran mereka.

Pak Alex adalah orang penting di kementerian. Tetapi dia juga pebisnis, penyelundup berbahaya yang tidak tercium publik. Setidaknya saat ini semua berjalan aman.

Baca juga: Boba untuk Pak Bos

Aku memelototi gadis itu, Elena masih tenang di tempatnya. Sepertinya menunggu seseorang, mungkin kekasihnya. Pemuda yang dipanggil Leo olehnya, bermata elang, dengan bentuk rahang yang keras.

Suasana kafe masih tetap sepi, hanya ada beberapa pria dan dua remaja di sudut lain. 

Kopiku sudah habis dua cangkir. Perutku keroncongan, tapi aku kurang suka makan camilan. Seharusnya aku mampir ke warung Jogja tadi. Menunya enak-enak, apalagi telur bacem, kesukaanku sejak dulu. Ah, semakin membuat kelaparan.

Seorang penjaja keliling melintas tiba-tiba. Elena memanggilnya. Dia mengeluarkan beberapa bungkus makanan dari dalam tas perempuan itu, lalu menyerahkan banyak sekali uang. 

Perempuan itu tidak beranjak, melainkan duduk di salah satu kursi. Mereka bercakap-cakap.

"Ibu sehat saja?" 

"Iya Nak."

"Papa mau tugas ke Belanda, seminggu. Ibu nginap di rumah yaa?"

Perempuan itu menggeleng.

"Bawa saja adikku, Bu."

Perempuan itu bangkit, mengumpulkan bawaannya, lalu mereka berpisah.

Sulit dipercaya, Pak Alex memperistri Bu Ratmi, lalu mencampakkannya di tahun emasnya. Tentu ini bukan urusanku.

"Bos?"

Aku memberi isyarat supaya Joni membuntuti perempuan itu.

Huaahh... aku cukup teliti dengan pekerjaanku. Aku yakin tak satu pun huruf yang tercecer dari alat penyadap yang kupasang. Jadi jangan bertanya, apa inti dari obrolan tadi.

 *

Mobil Pak Alex melesat keluar gerbang lengkung setinggi tujuh meter. Masih dua jam lagi, gadis itu keluar rumah seperti biasanya.

Aku mencatat jadwal Elena. Hari Kamis dia masuk kuliah jam satu, paginya dia bermalas-malasan di kamarnya. Paling dia berbelanja rok hitam atau beberapa asesoris di toko langganannya.

Eh, itu dia! 

Aku buru-buru masuk mobil, tahu gadis itu tetap licin meski dengan roda empatnya.

Dia terlalu brutal, jika diukur dari parasnya yang cantik. Menurut asisten Pak Alex, gadis itu menolak ibu tirinya sejak awal. Ada banyak pengasuh yang berganti-ganti, tak satu pun betah lama-lama.

Elena berbelok ke jalan Darmawangsa, ini bukan kafe yang biasanya. Dia berhenti di depan apotik, sepertinya membeli vitamin. Akhir-akhir ini dia terlihat pucat. Tapi seingatku belum pernah check up ke dokter.

Aku mengintip dari pintu kaca, sepertinya aku harus masuk. 

"Bawa resep, Pak?"

Resep? Bodoh! Aku harus bilang apa pada penjaga apotik?

"Saya perlu minyak kayu putih, Mbak. Yang ukuran sedang saja ya..."

Si Mbak tersenyum-senyum. Dipikirnya laki-laki bertubuh tegap butuh minyak kayu putih juga. Sial!

Aku masuk mobilku, tak sempat minum air mineral karena gadis itu keburu cabut. Apa yang dia beli tadi, tespek? Untuk apa?

Kami beriringan melalui jalanan padat. Gadis itu terus melaju ke arah stasiun kereta. Bunyi klakson di belakangku memperingati. Maaf Kawan, aku tak boleh kehilangan jejak kali ini.

*

Wajahnya begitu sembab di balik kacamata hitam. Sahabatnya membimbingnya meninggalkan area makam.

"Kami akan mengantarmu," kata yang berkerudung putih.

Gadis itu menggeleng kuat. "Aku harus bertemu ibu..."

"Kami temani."

"Tidak perlu. Terima kasih sudah mau datang..."

Mereka saling peluk, lalu melambaikan tangan.

Cukup lama gadis itu menyusuri jalan-jalan kecil. Sesekali dia mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil, tapi yang ditanyai selalu menggelengkan kepala.

"Dimana perempuan itu tinggal?"

Joni yang sedang menikmati kacang, tersedak karena kaget.

"Siapa Bos? Bu Ratmi?

Dalam gang sempit di belakang hotel Zamrud, Bos!"

"Lihat, mereka sudah bertemu."

Perempuan itu seperti menangkap kesedihan anaknya, tapi urung memeluk.

"Leo kecelakaan saat ikut balapan, Bu."

"Sabar ya Nak..."

Gadis itu memeluk, dia tak peduli lagi orang-orang akan melihat heran. 

"Aku mengandung anak Leo, Bu..." 

"Oh Gusti..." petempuan itu memejamkan matanya kuat-kuat.

"Apa? Berita apa ini?" Joni melotot.

"Kita akan dipecat. Ayo jalan."

***

Kota Kayu, 3 November 2022

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun