Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buku-buku Bodoh

7 Oktober 2022   15:50 Diperbarui: 7 Oktober 2022   16:23 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Simerenya | Winter art, Cute art, Art/Pinterest

Les livres débiles. 

Berkali-kali aku memandangi tulisan di dinding bangunan yang ditinggali nyonya Elaine. Kurasa sudah lebih dari lima kali, dan aku selalu datang sendirian. 

Kemampuanku berbahasa Perancis memang belum apa-apa. Tapi yang membuat terketuk adalah makna yang belum kuketahui secara pasti. Benarkah artinya: buku-buku bodoh?

Seperti biasa, setelah turun dari kereta, aku berjalan kaki di antara pohon yang kesepian. Kios penyewaan buku itu berada di ujung kota, berhimpitan dengan rumah besar milik seorang dokter.

Sebenarnya wanita itu dulunya menempati salah satu dari deretan kios buku di tepi sungai Seine. Tapi sejak pandemi melanda, jumlah turis merosot jauh dan akhirnya dia memilih menempati bangunan tua bekas toko.

Terkadang aku merasa konyol karena melakukan ini semua. Cuaca sangat menggigit dan teman-temanku tak ada yang peduli dengan tugas yang masih lama diserahkan. 

Kecuali jika di dalam tubuhku terdapat mesin pemanas yang bisa menjauhkan dari rasa gigil. Beasiswa? Ya, aku takut kehilangan kesempatan emas ini.

Aku tidak buru-buru masuk, dan masih memandangi tulisan yang sebenarnya agak sulit terbaca orang lewat. Les livres débiles.

*

Nyonya Elaine tampak sudah berumur. Dia tidak menikah dan tinggal sendirian. Beberapa ekor kucing mengunjunginya pada jam mereka lapar.

Biasanya aku berlama-lama di sana dan mendengarkan dia bercerita tentang hidupnya. Dia kesepian, tetapi dia bahagia dengan pemberian Tuhan.

Misalnya, pertanyaanku mengapa dulu dia meninggalkan desa kelahirannya dan memilih tinggal di Paris? Meski tidak menjadi tunawisma, tetapi terlihat dia tidak memiliki hasil apa-apa selain buku-bukunya itu.

Aku meneguk teh tawar dan sepotong roti yang agaknya sudah disimpan lebih dari dua malam. Hanya ada sedikit sisa selai kacang, yang kuambil dengan cara mengelap bagian dalam toples dengan sobekan roti. Lumayan karena perutku sudah kelaparan.

Butiran salju terus turun, seperti helaian kapas putih yang ringan. Nyonya Elaine masih membungkuk membagikan makanan kepada kucing-kucing di luar. Dia berbicara padanya, seolah ada ikatan batin di antara mereka.

Aku mengeluarkan kamus kecil yang biasa kubawa kemanapun. Tertulis Elaine adalah nama untuk bayi perempuan yang berarti: terang-benderang atau cahaya yang bersinar.

"Nyonya, bolehkah aku bertanya sesuatu yang membuatku penasaran? kataku begitu dia selesai dengan "teman-temannya".

Dia menarik bibir tipisnya, menaikkan alisnya, menyorongkan dagunya, berekspresi sedemikian rupa hingga wajahnya tampak semakin tirus.

"Tanyalah, seperti biasa..."

Aku memainkan jari tanganku, semenyara dia terlihat sibuk menggunting kukunya.

"Aku tidak akan bertanya mengapa Anda jarang berganti baju, karena aku tahu yang ini adalah warna favoritmu sekaligus kenang-kenangan dari lelaki itu, bukan?"

Seperti dugaanku dia merangkulku dengan cepat dan tertawa dengan menyipitkan matanya, lalu melepaskanku dengan cepat pula.

"Kekasihku, kau masih ingat..." sahutnya dengan mata berbinar.

"Aku justru ingin bertanya tentang papan nama."

"Papan nama?" dia membetulkan kacamatanya.

"Maksudku ada sebaris kalimat di depan kios buku ini. Apakah artinya: buku-buku bodoh?"

Wanita itu tertawa, lebih tepatnya tergelak, seolah perkataanku begitu menggelitik selera humornya.

"Kau membuatku merasa lapar!"

Aku memperhatikannya membuka laci, lalu mengeluarkan stok rotinya yang masih baru.

"Apa maksudmu dengan buku-buku bodoh?" dia bertanya, sambil mulai memanggang rotinya dengan sedikit olesan mentega.

"Tentu saja, semakin kau membaca buku dan mengambil pengetahuan di dalamnya, dirimu semakin merasa bertambah bodoh, bukan?"

Aku tak percaya. Jadi itu penjelasannya??

"Hanya orang bodoh yang mau membaca buku, dan hanya orang gila yang mau mengembalikan buku bagus yang dipinjam dari kawannya!"

Apa??

"Aku sudah tujuh belas tahun menjadi bouquinistes. Dan semua turis yang datang mengatakan kami menjual buku-buku bagus.

Lagipula tulisan di tembok luar ini adalah saran dokter Jan yang tinggal di bangunan sebelah.

Dia mengatakan, sebuah kalimat yang menarik akan memancing orang-orang datang."

Aku mengangguk-angguk sambil menahan senyumku.

Saat aku meninggalkan nyonya Elaine, dia sedang menikmati rotinya yang masih hangat sambil melambai-lambai.

Aku merapatkan mantelku, dan menyalakan mesin pemanas dalam diriku yang mungkin bernama semangat!

Aku memandang kios bukunya yang tampak kontras dengan langit sore di belakangnya. 

Semoga masih ada kereta yang membawaku.

***

Kota Kayu, 7 Oktober 2022

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun