Misalnya, pertanyaanku mengapa dulu dia meninggalkan desa kelahirannya dan memilih tinggal di Paris? Meski tidak menjadi tunawisma, tetapi terlihat dia tidak memiliki hasil apa-apa selain buku-bukunya itu.
Aku meneguk teh tawar dan sepotong roti yang agaknya sudah disimpan lebih dari dua malam. Hanya ada sedikit sisa selai kacang, yang kuambil dengan cara mengelap bagian dalam toples dengan sobekan roti. Lumayan karena perutku sudah kelaparan.
Butiran salju terus turun, seperti helaian kapas putih yang ringan. Nyonya Elaine masih membungkuk membagikan makanan kepada kucing-kucing di luar. Dia berbicara padanya, seolah ada ikatan batin di antara mereka.
Aku mengeluarkan kamus kecil yang biasa kubawa kemanapun. Tertulis Elaine adalah nama untuk bayi perempuan yang berarti: terang-benderang atau cahaya yang bersinar.
"Nyonya, bolehkah aku bertanya sesuatu yang membuatku penasaran? kataku begitu dia selesai dengan "teman-temannya".
Dia menarik bibir tipisnya, menaikkan alisnya, menyorongkan dagunya, berekspresi sedemikian rupa hingga wajahnya tampak semakin tirus.
"Tanyalah, seperti biasa..."
Aku memainkan jari tanganku, semenyara dia terlihat sibuk menggunting kukunya.
"Aku tidak akan bertanya mengapa Anda jarang berganti baju, karena aku tahu yang ini adalah warna favoritmu sekaligus kenang-kenangan dari lelaki itu, bukan?"
Seperti dugaanku dia merangkulku dengan cepat dan tertawa dengan menyipitkan matanya, lalu melepaskanku dengan cepat pula.
"Kekasihku, kau masih ingat..." sahutnya dengan mata berbinar.