Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lakukan Hal yang Sama

20 September 2022   05:49 Diperbarui: 20 September 2022   07:26 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah tahun pernikahan satu dasa warsa. Orang-orang mulai bosan bertanya kapan kami punya anak.

Sepulang bekerja yang kami lakukan hanyalah menonton tv, membaca buku, atau saling beradu kisah. Hari Minggu atau libur tanggal merah di kalender, kami mengunjungi keluarga atau bahkan piknik berdua mendekat ke alam bebas.

Hmm, ternyata tidak sesederhana itu melakukan hal yang sama selama sepuluh tahun. Mulai dari hubungan yang mesra, cekcok kecil sampai semuanya kadang terasa hambar.

Entah di tahun keberapa, akhirnya aku dan Wina menyadari ini adalah ujian rumah tangga kami. 

Kami tidak diuji dengan perselingkuhan yang berakhir dengan perceraian. Atau aset yang terjual satu per satu untuk biaya berobat anak satu-satunya. 

Kami justru diuji dengan ketiadaan anak di tengah-tengah kami. Sang Kuasa ingin tahu, apakah kami bisa menjaga cinta yang sudah kami ikrarkan bersama.

Begitulah. 

Dulu kami tergabung dalam komunitas pejuang garis dua, dimana anggotanya saling memberikan dukungan. Beberapa di antaranya sudah berhasil memiliki momongan. Salah satunya pasangan Mail dan Ratih, mereka mendapatkan kegembiraan setelah empat belas tahun menunggu.

Tapi setelah aku dan Wina dapat menerima takdir ini dengan lapang dada, kami memutuskan keluar dari komunitas dan memilih menjalani hari-hari kami secara alami.

Saat itu kami sudah menemukan solusi, bagaimana rumah tangga yang hanya beranggotakan kami berdua, dapat berjalan normal. Tidak ada lagi saling menyalahkan, atau berpikir salah satu dari kami memiliki gangguan organ reproduksi, atau mulai mencarikan pasangannya istri baru.

Lakukan hal yang sama, itu resep yang kami dapatkan dari kakek dan nenek Wina saat dia mengunjungi kami dua tahun lalu. Opa Hans dan Oma Retta, demikian kami menyapa.

Saat itu mereka sengaja datang dari negaranya bermukim, menempuh penerbangan dengan pesawat selama hampir lima jam, hanya untuk bertemu cucu satu-satunya.

Wina tiba-tiba menjadi sangat manja di hadapan mereka. Atau mungkin karena dia tidak ingin terlihat mengabaikan tamu kami, yang jelas dia jadi jarang memperhatikan hubungan kami.

Sebagian waktunya dihabiskan untuk menemani Opa Hans dan Oma Retta berbelanja, atau bersantai di taman bunga di tengah kota. Saat aku pulang dari bekerja, beberapa kali dia lupa menyediakan kopi. Menu makan malam pun berasal dari jasa pesan-antar. Atau bahkan makan di restoran sekalian!

Di sisi lain, Oma Retta sangat peka. Dia selalu mencariku dan mengajak berkumpul bersama. Bahkan Oma Retta juga menasihati Wina agar jangan sampai mengecewakan suami.

Bagi para suami, posisi sepertiku terhitung cukup langka. Keluarga istri membela menantu cucu dan menyalahkan keturunan mereka sendiri. Tapi ini adil, bukan?

Maka ketika dua bulan setelah Opa Hans dan Oma Retta kembali ke negaranya, mama Wina (mertuaku) menyampaikan kabar Oma Retta jatuh sakit dan meninggal beberap hari kemudian, jantungku seakan copot dari tempat duduknya!

Wina sendiri memelukku setiap malam sampai dia akhirnya bisa tertidur. Tentu sebelumnya sambil terus berkeluh kesah dan menangisi kepergian sang nenek. 

Dia melupakan buku-buku yang seharusnya dia baca seperti biasanya. Tapi untungnya Wina tidak melupakan apakah aku ingin makan malam, atau hanya ingin secangkir kopi saja?

Akhir-akhir ini Wina memang menyiapkan sendiri masakannya untuk kami makan malam atau sarapan. Mungkin dia ingat pesan Oma Retta. Bukti lainnya dia mulai mengurangi kebiasaannya menelepon "geng" nya untuk membahas hal yang tidak begitu penting. 

Ini bagus, bukan?

Tapi ketika tiga bulan kemudian sampai kabar bahwa Opa Hans menyusul istrinya ke alam baqa, Wina kembali menjadi murung sampai kesehatannya menurun dan harus di-infus beberapa hari di rumah sakit.

Kepergian orang-orang terbaik dalam hidup seseorang, memang mampu meninggalkan kesedihan dan rasa kehilangan begitu rupa. 

Aku sendiri tidak habis pikir bagaimana dulu aku sampai bolos sekolah berbulan-bulan setelah ayahku meninggal. Akhirnya aku tidak naik kelas dan harus mengulang lagi selama setahun.

*

Lakukan hal yang sama. Sekali lagi kukatakan ini adalah kuncinya.

Sang waktu membawa Wina pulih kembali. Kami pun menata hidup kami lagi. 

Sepulang dari bekerja, seperti biasa kami menghabiskan waktu untuk menonton tv, membaca buku, atau saling beradu kisah. 

Hari Minggu dan tanggal merah pada kalender, kami memilih mengunjungi panti sosial atau mendonorkan darah.

Saat ini hubungan kami terasa jauh lebih mesra dan hangat dari sebelumnya. Hampir tak ada lagi cekcok kecil, dan tak pernah menjadi hambar seperti sebelum Opa Hans dan Oma Retta datang.

Saat suatu hari Minggu Wina mengajak berbelanja beberapa tanaman hias, aku bukan sekedar mengantar seperti biasa. Aku memutuskan membantu memindahkan pohon mirip pinus yang menyebabkan serpihan tanah menempel di kaos kesayanganku. 

Di kesempatan lain, Wina mengimbangiku dengan membuat dirinya sabar seharian menemaniku memancing. 

Di atas selembar tikar yang kami bentangkan di bawang sisi tebing, dia terlihat berkali-kali berganti posisi. 

Duduk, tengkurap, doyong, bersandar sampai baring dengan kaki membentuk seperti baling-baling.

Saat sore hari kami pulang membawa sedikit ikan kecil, Wina terlihat paling bergairah sampai kukira dia lupa rasa bosannya.

Begitulah. 

Hampir sepanjang tahun kami saling menerima keinginan pasangan dan berupaya menyenangi hobi satu sama lain. 

Lambat laun tak ada lagi masalah yang mengganggu, bahkan semua berjalan selaras.

Dan jika kalian lihat, saat ini kami sama-sama sedang membaca buku dengan posisi seperti mirror. Kami duduk di kedua ujung sofa dan kaki kami sama-sama berada dalam selimut menahan salju yang turun di luar.

Ada kabar gembira yang mungkin juga kalian tunggu di akhir cerita ini. Saat inu Wina tengah berbadan dua. Maksudku ada bayi kami di perutnya. 

Ya, kami akan segera punya anak!

Jadi, cobalah resep dari Opa Hans dan Oma Retta jika kalian merindukan hadirnya momongan. Lakukan hal yang sama dengan pasanganmu sebisamu. Kamu akan merasakan sesuatu yang ajaib di sana. Sampai jumpa.

***

Kota Kayu, 20 September 2022

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun