Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah di Bawah Bukit

5 Juli 2022   08:42 Diperbarui: 5 Juli 2022   08:54 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Rumah di bawah Bukit|foto: DeviantArt/Pinterest

Aku seorang pengidap penyakit pernapasan. Tetapi orang tuaku tidak punya pilihan kecuali tinggal di sini. Kata bapak, tanah nenek moyang tidak untuk ditinggalkan. 

Malam hari aku sering menggigil kedinginan. Pada musim hujan lebih parah, aku pasti sakit. Mulanya pilek biasa, lalu napas berubah cepat. Aku sulit bernapas, ditambah batuk kering atau berdahak, dan juga demam pada hari-hari berikutnya. 

Ramuan obat yang kuminum, hanya menolong sementara. 

Kata dokter di kabupaten, sembilan puluh persen bayi dan balita mengalami masalah yang sama denganku. Kami terpapar serangan virus yang berada di udara dan menyebabkan infeksi paru-paru.

Untungnya adik perempuanku sehat. Dialah yang kuandalkan saat aku butuh bantuan. Sebenarnya aku tidak boleh berenang terlalu lama. Nafasku bisa berbunyi saat malam, mengalahkan suara ombak di teluk Kabola sana.

Sebenarnya kampung kami sangat diminati orang dari luar. Panorama pantai batu putih yang dipagari perbukitan tinggi, sangat eksotis dan memanjakan mata.

Baca juga: Camar Pulang Senja

Bagi pecinta olahraga snorkeling, mereka lebih memilih selat pulau Kepa yang terdapat banyak terumbu karang.

Sayangnya kami sering merasa terasing dan kesepian. Tak banyak yang bisa dilakukan anak-anak di sekitar sini. 

Anak perempuan biasanya pergi bersama ibunya mengambil buah kenari di hutan untuk dijual di pasar. Dan anak lelaki sepertiku, belajar pada bapak bagaimana berburu lobster di pulau Kangge. 

Adikku sering minta ditemani mencari bunga ilalang. Bentuknya seperti bunga kapas, mudah rontok diterbangkan angin. Saat itu aku harus menutup hidung dan mulut dengan kain slayer, jangan sampai sakitku kumat malamnya.

Kadang-kadang aku membayangkan bagaimana rasanya tinggal jauh dari kampung halaman. Tinggal di perkotaan yang modern dan punya mainan keren.

Adikku lebih suka di sini. Rumah di bawah bukit sudah ditakdirkan untuk hidup kami. Hutan dan laut sudah memberi kami makan. Cukuplah hidup tenang dan damai bagi penduduk. Anak-anak bisa bermain sepanjang hari.

Tidak, adikku mungkin tidak sepenuhnya benar. Aku seorang pengidap penyakit pernapasan. Aku membutuhkan jarak yang lebih dekat dengan rumah sakit, atau apotik. 

Udara di bawah bukit pada malam hari, bukan hanya membuat rumput ilalang basah seperti kena hujan. Tapi juga bisa mengubah kopi panas menjadi dingin dalam sekejap.

Aku dan adikku sering berpelukan di bawah kain yang menjadi selimut kami. Sulit memejamkan mata pada saat seperti itu. Sering kurasakan telapak kaki adikku dingin seperti orang mati. 

*

Aku menggali tanah yang ditumbuhi ilalang dengan cangkul kecil. Terlihat jalinan akar di bawah tanah subur begitu rapat menahan air. Itulah mengapa kami membiarkan bukit ini tak ditanami sayur atau jagung. 

Aku hanya membersihkan sedikit untuk membuat lubang. Bibit-bibit mawar ini kuminta dari paman saat kami berkunjung ke rumahnya di kampung Takpala. 

Anak perempuan seperti adikku harus belajar menyukai bunga, bukan? Tetapi bukan bunga ilalang seperti yang sering dimainkannya.

"Kakak, mari katrong pi sana!" seru adikku mengajak kembali ke rumah pohon.

Selesai menyiram stek yang kutanam, kami pun kembali ke rumah pohon untuk beristirahat, lalu bermain lagi sampai senja tiba.

Malam hari cuaca cerah, udara sedikit lebih hangat dari biasanya. 

Aku belum mengantuk. Kuputuskan mengambil buku dan melanjutkan pelajaranku. Aku mulai menulis apa saja, sementara adikku sudah tertidur pulas.

*

Pagi sudah terbangun lebih dulu. Mamak dan bapak pun sudah tidak kelihatan. Hanya bukit hijau yang menyambutku.

Aku masuk ke dapur. Biasanya sudah ada ubi rebus, jagung bose, serta ikan bakar yang mamak siapkan untuk aku dan adikku.

"Oya, apa dia masih belum bangun?" aku keheranan, lalu beranjak menghampiri di kamar. Aku menjauhkan kain yang menutupi sebagian dirinya. 

Kutepuk pipi adikku dan mulai mengoceh tentang rencana kami membakar jagung di dekat rumah pohon. Itu impiannya saat kami membantu bapak menanam jagung. Sekaranglah waktunya panen.

Tapi hey, kenapa tidak ada napas yang hangat keluar dari hidungnya seperti saat kami berpelukan di bawah kain selimut? Apa dia sakit?

Aku berlari ke ladang mencari mamak dan bapak untuk memberitahu. Kami juga harus memanggil paman dan ketua adat di kampung sebelah. Semoga saja dia tidak kenapa-kenapa.

***

Keterangan:

Dikutip dari Wikipedia, jagung bose adalah olahan bubur jagung khas dari Nusa Tenggara Timur, merupakan campuran daging se'i yang biasa juga dimakan bersama ikan bakar sebagai ganti nasi.

Kota Kayu, 5 Juli 2022

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun