Kadang-kadang aku membayangkan bagaimana rasanya tinggal jauh dari kampung halaman. Tinggal di perkotaan yang modern dan punya mainan keren.
Adikku lebih suka di sini. Rumah di bawah bukit sudah ditakdirkan untuk hidup kami. Hutan dan laut sudah memberi kami makan. Cukuplah hidup tenang dan damai bagi penduduk. Anak-anak bisa bermain sepanjang hari.
Tidak, adikku mungkin tidak sepenuhnya benar. Aku seorang pengidap penyakit pernapasan. Aku membutuhkan jarak yang lebih dekat dengan rumah sakit, atau apotik.Â
Udara di bawah bukit pada malam hari, bukan hanya membuat rumput ilalang basah seperti kena hujan. Tapi juga bisa mengubah kopi panas menjadi dingin dalam sekejap.
Aku dan adikku sering berpelukan di bawah kain yang menjadi selimut kami. Sulit memejamkan mata pada saat seperti itu. Sering kurasakan telapak kaki adikku dingin seperti orang mati.Â
*
Aku menggali tanah yang ditumbuhi ilalang dengan cangkul kecil. Terlihat jalinan akar di bawah tanah subur begitu rapat menahan air. Itulah mengapa kami membiarkan bukit ini tak ditanami sayur atau jagung.Â
Aku hanya membersihkan sedikit untuk membuat lubang. Bibit-bibit mawar ini kuminta dari paman saat kami berkunjung ke rumahnya di kampung Takpala.Â
Anak perempuan seperti adikku harus belajar menyukai bunga, bukan? Tetapi bukan bunga ilalang seperti yang sering dimainkannya.
"Kakak, mari katrong pi sana!"Â seru adikku mengajak kembali ke rumah pohon.
Selesai menyiram stek yang kutanam, kami pun kembali ke rumah pohon untuk beristirahat, lalu bermain lagi sampai senja tiba.