Apa yang kalian harapkan saat diterima sebagai staf keuangan kantor? Gaji besar, hari libur Sabtu Minggu, kendaraan dinas, atau bos yang ramah?
Setiap orang punya pandangan berbeda, tergantung tujuan saat dia melamar. Tipe playboy, mungkin mengharapkan punya bos wanita yang seksi dan ternyata single mom. Sementara gadis-gadis muda mengharapkan bos mereka ganteng, keren dan macho.
Terserah. Tapi bos yang ada di hadapanku ini, lebih pas kalau disebut BoBa: bos bawel. Siapa yang mau punya bos keren tapi bawel?
"Eeh, Julia, tunggu..."Â
Aku segera merapatkan pintu kembali, karena handle-nya sempat kutarik.
Sepasang mata Pak Bos menatap lekat. Dia mengawasi seragam kerjaku, sambil berpikir-pikir.
Aku ikut-ikutan menengok ke bawah. Blazer marun dengan inner berbahan rajut warna cappucino. Ada yang salah?
"Silahkan duduk sebentar.
Besok kita akan mengambil tema purple orchid. Jadi silahkan pulang lebih awal tiga puluh menit. Mirna akan membelanjakanmu untuk keperluan itu," setelah berkata begitu, Pak Bos lalu memberi kode bahwa aku bisa keluar ruangannya sekarang.Â
*
Pukul sepuluh pagi, seperti yang tertulis dalam jadwal. Aku, Pak Bos dan beberapa karyawan lain sudah tiba di lokasi.Â
Persis satu jam kemudian, meeting selesai. Pak Bos memberiku beberapa catatan untuk tugas yang dilimpahkan. Nyebelin, karena detilnya minta ampun. Sementara dia tidak sadar ujung rambut depannya ada yang menunjuk langit-langit. Persis si Ipin dalam serial tv.
"Julia, jangan hobi membanting pintu dong..."
Ups, aku kelepasan. Emosi melihat gaya atasan tipe begini. Semoga lebih hati-hati, jangan kena tegur lagi.
Menit-menit berikutnya, ekor mataku gelisah, mengawasi gerak-gerik Pak Bos. Anteng sih, sambil melihat-lihat keluar jendela.
Ujung jarinya bergerak-gerak, sebelum meminta lagu andalannya pada supir. Maklum, di usia begini kenangannya pada band legendaris tetap tak bisa bohong.
Diraihnya botol air mineral, lalu meneguk sedikit. Memejam mata, lalu menyandarkan kepalanya ke belakang. Semoga Pak Bos tertidur, doaku.
*
Bekerja di mana saja, pasti punya tantangan. Aku setuju itu. Jadi, saat laporan yang kuserahkan, dibaca lalu dihempaskan, aku tidak boleh tersinggung.
"Bagaimana bisa, pemeriksaan dua lapis menghasilkan angka yang keliru?"
Aku mengingat-ingat lagi.Â
Benar, ini kesalahanku. Waktu dua hari tak kugunakan dengan baik. Aku malah asyik bereksperimen di dapur. Mumpung Sabtu Minggu, anggap saja waktunya refreshing.
Jadi, aku berlatih membuat boba. Maksudku boba dalam artian sebenarnya. Kebetulan seorang teman membuka usaha ice milky dalam sebuah kontainer yang disulap sebagai stand berjualannya. Aku menyanggupi menjadi supplier boba yang masih viral sampai sekarang.
Seorang oportunis memang begitu, kan? Berani mengambil kesempatan karena sayang kalau dilewatkan. Semesta sudah memilihmu, mau apa lagi? Toh, aku berhasil.Â
"Kau pegawai yang sangat ceroboh. Padahal kau tahu laporan perusahaan kita tayang di media nasional!"
Aku diam seribu bahasa. Akhirnya kulihat juga wajah penuh amarah dan mata yang menghujam.Â
Aku pun suntuk di ruanganku. Antara takut di-skors, malu, dan terutama merasa bersalah.
"Dasar BoBa, bos bawel!" rutukku dalam hati.
Ehh, apa iya dia bawel? Mungkin tidak persis seperti itu. Dia seorang bos, wajar kalau dia cerewet dan suka menegur. Dia ingin para pegawai membantunya memajukan perusahaan. Bukan sebaliknya.
"Apa ini?" kata Pak Bos saat aku menyerahkan segelas boba milk tea yang diantar Bang ojol.
"Itu adalah permintaan maaf saya, Pak Halim..."
Sepasang matanya melihatku tak berkedip. Diterimanya dengan senyum kecil.
"Boba buatanmu yaa?" Pak Bos menghabiskan separuh gelas.
Dari mana dia tahu??
Kota Kayu, 3 Juli 2022
Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H