Sebagai anak lelaki, memiliki hobi akan pesawat terbang, bukanlah sesuatu yang aneh, bukan?Â
Perkenalkan, namaku Rio, berusia hampir tujuh tahun. Ayahku seorang petani desa, dan ibuku, aku sudah tidak memiliki ibu.Â
Aku tidak ingat wajah ibuku, karena saat aku masih minum air susunya, kata ayah ibu sudah mulai sakit. Akhirnya ibu meninggal, dan ayah yang merawatku.
Aku cukup kesepian, dan ayah berusaha mengenalkanku pada beberapa buku. Tidak banyak buku yang kami miliki. Biasanya ayah membeli di pasar loak saat pergi menjual hasil panennya.
Kadang-kadang desa kami kedatangan perpustakaan keliling, yaitu sebuah mobil yang penuh dengan buku-buku menarik. Tepatnya di akhir bulan, jadwal kunjungan ke desa kami.
Anak-anak sudah menunggu di lapangan, termasuk aku. Kami senang sekali menyambutnya meski masih beberapa puluh meter lagi. Kami bersorak kegirangan, karena buku-buku itu penuh cerita dongeng dan juga pengetahuan.
Pernah membaca Le Petit Prince? Buku itu ditulis oleh Antoine de Saint-Exupéry yang diterbitkan pada tahun 1943 dan sudah diterjemahkan ke dalam 150 bahasa. Nah, jujur saja aku merasa "pangeran kecil" itu adalah aku.
Aku juga sangat menggilai pesawat. Kata ayah, ibu berada jauh dan tidak bisa berkumpul bersama kami di rumah. Tapi kenapa?
Sepertinya ayahku tak pandai menjelaskan, atau ini terlalu rumit untuk diberikan kepada anak kecil sepertiku.
Aku mencoba menebak, mungkin ibu berada di planet lain. Mungkin Jupiter, atau Mars?
Menurut buku yang kubaca, Jupiter adalah planet yang sebelas kali lebih besar dari bumi, dengan diameter 69.911 km. Jarak terdekat dengan bumi sejauh 368 juta mil. Seminggu yang lalu (24 Juni 2022), planet Jupiter terlihat sangat terang dari bumi.
Dan Mars adalah planet yang paling sering mengundang penjelajah EcoMars dari Eropa dan Rusia.
Jarak terdekatnya dengan bumi yaitu 62.069.570 km. Tetapi pernah lebih dekat yaitu 58 juta km, pada 2018.
Entahlah, mungkin ini anggapan yang tidak sepenuhnya benar tentang ibu. Yang jelas aku sangat merindukannya.
Ayah bilang ibu suka sekali pada bunga mawar merah. Saat mereka menikah dulu, bahkan setiap ibu ulang tahun, bunga mawar merah penuh dimana-mana.
Jadi, kalau kalian heran mengapa anak lelaki sepertiku menanam bunga mawar merah di seluruh pekarangan rumah, itu bukan karena bagian dalam kisah pangeran yang tadi kujelaskan. Tetapi ini adalah bentuk penantian seorang anak kepada ibu yang telah melahirkannya dan menyayangi dengan sepenuh hati.
Oya, bagaimana dengan kalian, bagaimanakah rasanya punya ibu?
Apakah kalian rela membayar tiket pesawat untuk pulang menemui ibu?Â
Aku mungkin terlalu kecil untuk memahami urusan orang dewasa, tapi aku yakin tidak semua anak merindukan ibu mereka. Terutama kalau bertemu setiap hari, akan timbul rasa bosan, dan perlahan bisa berubah menjadi rasa tidak hormat.
Baiklah, tentang pesawat yang tadi kubicarakan, sebenarnya ayahku sudah sering mengingatkan. Pesawat dari kardus yang kubuat tidak akan bisa membawaku terbang menemui ibu. Yeah, walau dia cukup ringan untuk bisa diterbangkan angin.
Aku lalu bereksperimen lagi, dan lagi, dan lagi. Aku selalu memastikan usahaku akan berhasil. Aku membuat semacam rangkaian mesin sederhana berdasarkan buku Fisika yang kubaca dari mobil perpustakaan keliling.
Usiaku sepertinya tidak menghalangi ide-ide di kepalaku. Aku akan terus merancang pesawat untuk membawaku terbang menemui ibuku. Sepertinya cita-cita menjadi seorang pilot memang ditakdirkan untuk anak bernama Rio, bukan?
Kadang-kadang aku menjadi tidak sabar untuk tumbuh dewasa. Tapi esensi dari semua ini adalah keinginan untuk bertemu ibu. Lalu jika aku tidak menjadi anak-anak, apakah kehadiran ibu masih cukup penting?
Tolong beri hak kepada anak lelaki untuk memeluk ibunya, menyentuh wajah halusnya, dan merayu supaya dibuatkan omlet telur dengan kacang polong.
Mungkin sangat tidak mirip ketika seorang ayah membacakan buju cerita untuk anaknya, ketimbang suara ibu yang lembut dan merdu.
Seorang ayah bisa saja mengambilkan sepiring makanan dari dapur dan meletakkannya di hadapan anak lelakinya dengan sedikit hentakan.
Apakah kalian pernah membayangkan seorang ibu yang meletakkannya dengan lebih pelan dan sebaris kalimat dari surga?
"Ayo makanlah, ibu sudah buatkan roti dengan salad kentang kesukaanmu. Kau harus tumbuh kuat untuk bisa menjaga ibu..."
Atau...
"Ini, Sayang, makanlah. Atau sebaiknya ibu menyuapimu supaya kau bisa tetap melanjutkan bacaanmu. Buku tentang apakah buku yang sedang kau baca, Nak?"
Begitulah. Seorang ibu pasti penuh kelemahlembutan dalam kalimatnya. Membuat anak lelakinya merasa seperti memiliki seorang bidadari dalam hidupnya. Dan bersemangat meraih mimpinya.
Atau, seorang ibu ketika terjaga dari tidurnya, tidak lupa mengecup kening anak-anaknya sambil membelai penuh sayang.Â
Hmm, apa kalian juga begitu?
Sebenarnya ini bukan berarti mengecilkan jasa-jasa ayah yang telah merawatku. Sama sekali bukan.Â
Ini semata-mata kerinduan seorang anak tentang ibunya yang tak pernah secara nyata berada di sisinya. Bukankah anak lelaki boleh bermanja di pangkuan ibunya?
*
Ceritaku selesai. Tak ada satu pun dari mereka yang bertepuk tangan tanda cerita itu keren. Mengapa?
Ibu guru Sopiah beranjak mendekatiku sembari membetulkan kacamatanya. Dia menyentuh pundakku dan berkata pelan,
"Rio, kau merindukan ibumu?"
Pertanyaan itu tidak kujawab. Sepertinya mata ibu guru sudah mengeluarkan tangis yang sedikit mengalir di pipinya.
"Ibumu sudah bahagia di surga tempatnya sekarang. Ibumu pasti bahagia mendengar ceritamu tadi.
Sekarang Rio harus belajar lebih giat, lebih tekun, agar Rio kelak bisa menjadi seorang pilot. Ya?"
Aku melihat tepat ke wajah ibu Sopiah, lalu mengangguk.
Aku kembali ke kursiku, dan menghapus sedikit air mataku.
Kota Kayu, 2 Juli 2022
Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H